Lihat ke Halaman Asli

Ikrar Sang Pendekar (17): Jaman Keemasan

Diperbarui: 26 Juni 2024   05:00

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Dokumen Tri Handoyo

Oleh: Tri Handoyo

Pada tahun 1350, Ratu Tribhuana dengan suka rela mengundurkan diri (lengser keprabon mandeg pandito ratu). Ia digantikan oleh putranya, Hayam Wuruk.

Raja muda yang masih setahun lagi baru berusia tujuh belas tahun itu bergelar Paduka Bhatara Sri Rajasanagara Dyah Sri Hayam Wuruk. Raja belia itu memiliki adik perempuan bernama Dyah Nertaja. Adiknya itu memerintah di Pajang, sehinggah bergelar Bhre Pajang. Di samping itu Hayam Wuruk juga memiliki adik angkat yang bernama Indudewi. Ia memerintah di Lasem, sehingga bergelar Bhre Lasem. Indudewi sebetulnya adalah putri Rajadewi alias Dyah Wiyat, adik Tribhuana.

Kebijakan politik Majapahit di bawah Prabu Hayam Wuruk sedikit berubah, lebih berorientasi ke stabilitas internal. Selain itu ada tugas kerajaan penting lain, yaitu mencari calon permaisuri, demi mendapatkan calon pewaris tahta berikutnya.

Hayam Wuruk menempatkan prioritas kebijakan pengelolaan politik dalam negeri, khususnya pencegahan timbulnya pemberontakan yang mungkin terjadi di wilayah-wilayah perluasan. Dengan demikian politik ekspansionis sedikit mengendur.

Mahapati Gajah Mada pun fokus menata segala urusan di dalam negeri. Ia menyusun sebuah kitab undang-undang, dengan lebih dulu memerintahkan sebuah tim untuk mengumpulkan kitab-kitab kuno, lalu mengambil intisari dari semua itu. Surat-surat piagam dan perjanjian yang sudah tua dan rusak diperbarui.

Pengadilan disusun dengan sedemikian rapi dan teliti, demi tercapainya keadilan bagi masyarakat. Dalam memutuskan perkara dipakai hukum adat yang berlaku di daerah di mana pelanggaran tersebut terjadi. Hakim mendapat kedudukan tinggi dan langsung di bawah kendali Sang Prabu. Gajah Mada yang juga menjabat sebagai Rajaksa memastikan pelaksanaan undang-undang raja, Sthiti Narendran, berjalan dengan baik.

Dua puluh tahun sejak Gajah Mada mengikrarkan sumpah Palapanya yang terkenal, Majapahit telah menjelma menjadi kerajaan besar yang menguasai seluruh Nusantara sekaligus perairannya.

Dengan konsep persatuan di bawah pengayoman Majapahit, dengan semboyan Bhinneka tunggal ika, berbuah pada meredanya peperangan. Pertumpahan darah antar sesama kerajaan di Nusantara, yang pada awalnya selalu saling mengintai, saling menyerang dan berupaya saling menguasai, kini sangat jarang terjadi. Korban dan kerugian akibat peperangan pun bisa dihindari.

Pada masa pemerintahan yang damai dan sejahtera itulah, kitab Kakawin Sutasoma dirangkai oleh Mpu Tantular. Sutasoma begitu terkenal karena memuat semboyan sakral yang terkenal. Bunyi lengkapnya adalah Bhinneka tunggal ika tan hana dharma mangrwa, berarti meskipun rakyat Nusantara beraneka ragam suku, ras, agama, bahasa dan adat istiadat, namun semuanya setara dan sejajar, yakni rakyat Nusantara. Berbeda-beda tetapi satu, tidak ada kebenaran bermuka dua.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline