Oleh: Tri Handoyo
Di suatu malam yang hening dan berudara dingin, Gajah Mada kecil mengutarakan cita-citanya kepada nenek angkatnya, Janda Wuri, bahwa ia kelak ingin menjadi tentara Majapahit. Hal itu kemungkinan dipicu karena ia sering melihat iring-iringan prajurit yang melewati desa Mada, yang memang terletak di antara jalur Majapahit dengan Tuban, atau bisa juga karena ia mewarisi darah dan jiwa patriotisme bapaknya.
Saat itu malam telah sempurna hadir. Mada berbaring telentang dengan mata masih terbelalak, memandang langit-langit kamar yang terbuat dari ijuk, dan pikirannya melayang jauh sekali.
Ketika tadi Mbah Wuri menyelimutinya dengan kulit kambing yang hangat, ia merasa terharu dan diam-diam air matanya mengalir di kedua pipinya. Ia pernah mendengar cerita bahwa selimut kulit itu satu-satunya warisan paling berharga dari suami mbah.
"Mbah gak dingin?"
"Nggak. Mbah sudah biasa kedinginan. Kamu kok belum tidur, Le?"
Bocah kecil itu menguap dan balas bertanya lirih, "Mbah, sebenarnya di manakah kedua orang tuaku?"
Bibir Mbah Wuri bergetar dan untuk sesaat terkunci rapat, tapi lalu terdengar jawabannya sambil menitikan air mata, "Le, mengapa kamu sering tanyakan hal ini? Bukankah Mbah sudah berkali-kali bilang kalau kedua orang tuamu sudah di alam baka! Sudah menghadap Gusti yang maha kuasa!"
Gajah Mada menyangka pertanyaannya itu telah membuat neneknya bersedih, sehingga ia berjanji untuk tidak pernah lagi menyinggung soal orang tuanya. Itu adalah paku terakhir bagi peti mati rasa penasaran mengenai orang tuanya, dan dikuburnya dalam-dalam.
'Le, mengapa nasibmu begini buruk?' batin nenek tua renta itu sambil menghela napas berat. 'Siapa yang nanti akan mengurusmu, seandainya tubuhku yang renta ini sudah tiada?'