Lihat ke Halaman Asli

Semangat Sampai Sekarat

Diperbarui: 18 Juni 2024   07:57

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Dokumen Tri Handoyo


Oleh: Tri Handoyo

Pada masa Dinasti Abbasiyah, terdapat dua pusat peradaban Islam, yakni di Baghdad dan di Andalusia. Kedua tempat tersebut menjadi mercusuar ilmu pengetahuan dan Islam menjadi penerang dunia.

Bahdad dan Andalusia bagaikan kiblatnya ilmu, sehingga banyak pelajar bangsa lain hijrah ke sana untuk menggali pengetahuan, agar kelak ketika pulang bisa mengembangkannya di negeri mereka.

Abbasiyah, adalah kekhalifahan ketiga. Khalifah yang paling terkenal pada dinasti tersebut adalah Harun ar-Rasyid. Ia berjasa besar dalam membawa masa puncak keemasan Islam.

Cendikiawan muslim kaliber internasional bermunculan. Beberapa tokoh yang cukup menonjol antara lain Al Farabi yang mendapat julukan 'Guru Kedua' setelah Aristoteles, Al Kwarizmi, dan tentu saja yang paling menonjol adalah Ibnu Sina dan Al-Ghazali. Menariknya, kedua tokoh ilmuwan itu berasal dari Persia.

Al-Ghazali yang dianggap sebagai 'mujaddid', seorang pembaharu Islam, memiliki banyak pengagum di negeri-negeri timur. Sedangkan Ibnu Sina memiliki banyak pengikut di negeri-negeri barat.
 
Ghazali dikenal dengan pemikiran sufistik dan mistisnya. Di antara karya fenomenalnya adalah Ihya' Ulumuddin, Misykatul Anwar, dan Tahafut al-Falasifah. Dari karya-karyanya itu ia mendapat gelar kehormatan yaitu 'Hujjat al-Islam'. Sedangkan Ibnu Sina dikagumi sebagai ulama yang saintifik. Ratusan karyanya di bidang kedokteran, filsafat, matematika, ilmu alam, astronomi dan seni. Di antaranya Qanun fith-Thib, Asy Syifa', dan Mantiq al-Masyriqin.

Perbedaan pemikiran kedua ulama itu kemudian melahirkan perdebatan. Perdebatan imajiner, sebab sesungguhnya Ibnu Sina, Bapak Kedokteran Modern itu, sudah wafat ketika pemikirannya dikritisi oleh Ghazali. Ibnu Sina (980 -- 1037 M) hidup di abad 10. Sedangkan Al Ghazali (1058 -- 1111 M) hidup di abad 11. Debat pemikiran itu terabadikan dalam karya Ghazali yang berjudul "Tahafut al-Falasifah", yang diterjemahkan "Kerancuan atau Inkohorensi Para Filsuf".

"Masyarakat begitu terpesona dengan kehebatan filsafat Yunani," demikian kritik Ghazali di halaman awal Tahafutul Falasifah, "Mereka lebih cenderung mengikuti pemikiran filsafat ketimbang ajaran Islam. Padahal, mereka belum memahami betul pemikiran para filusuf tersebut."

Ibnu Sina memang ilmuwan yang pemikirannya berbasis pada rasionalitas dan empirisme. Termasuk ketika dia memahami keislaman. Pendekatannya adalah saintifik. Pemikiran filsafat Ibnu Sina menjadi tren yang diikuti oleh banyak pelajar generasi berikutnya, dan memiliki pengaruh luas bagi kebangkitan dan kemajuan ilmu pengetahuan.

Tentu saja, Ibnu Sina tidak bisa mengklarifikasi kritik Al Ghazali, sebab dia sudah wafat. Baru pada abad berikutnya, seorang cendikiawan kenamaan Andalusia, Ibnu Rusyd (1126 -- 1198 M) muncul dengan karya tulisnya yang menjawab kritik Al Ghazali.  

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline