Oleh: Tri Handoyo
Mahkamah yang anggotanya para dewa merasa kesal dengan sebagian ulah penduduk bumi yang menuntut agar dewa selalu menuruti kehendak dan kemauan mereka.
Yang dimaksud MK di sini adalah Mahkamah Kayangan. MK merasa repot karena di samping aneka ragam doa yang rajin dipanjatkan, manusia juga menuduh MK pasti berat sebelah, mencurigai bakal pilih kasih, dan menuding tidak netral, manakala hajat-hajat mereka tidak terpenuhi. Bahkan ada yang sampai mengatakan MK curang dan menerima suap.
Jauh pada masa ribuan tahun yang lampau, Sanghyang Tunggal memiliki tiga orang putera yang berasal dari sebutir telur. Dari bagian cangkang telur diberi nama Antaga, dari putih telur diberi nama Ismaya, dan dari kuning telur diberi nama Manikmaya.
Pada suatu ketika, Antaga dan Ismaya berselisih karena masing-masing ingin menjadi penguasa kahyangan. Keduanya pun akhirnya memutuskan untuk adu kesaktian, yakni menelan gunung.
Antaga yang merasa mampu, langsung menelan gunung secara utuh. Malang sekali, mulutnya robek dan matanya melotot nyaris keluar. Ia gagal. Sementara Ismaya menggunakan cara bertahap, memakan gunung sedikit demi sedikit. Setelah melewati bebarpa saat, maka seluruh gunung pun berhasil dipindahkan ke dalam perutnya. Namun ia gagal memuntahkannya kembali. Akibatnya, sejak saat itu Ismaya memiliki perut besar dan bulat.
Sanghyang Tunggal kesal mengetahui ambisi kedua putranya itu, sehingga memberi mereka hukuman untuk turun ke bumi menjadi manusia biasa.
Manikmaya yang tidak melakukan kesalahan akhirnya diangkat sebagai ketua Mahkamah Kayangan, bergelar Batara Guru.
Antaga berganti nama menjadi Togog Tejomantri, kelak menjadi pengasuh bangsa yang berwatak angkara murka dan serakah. Sedangkan Ismaya berganti nama menjadi Smaranata atau Semar, yang menjadi pengasuh para satria yang berbudi pekerti luhur.
Dari kisah tersebut sebetulnya menunjukan bahwa MK telah berbuat adil sejak dari awal kehidupan manusia. Dewa berwujud manusia ada di masing-masing pihak, baik Kurawa maupun Pandawa.