Oleh: Tri Handoyo
Sinar matahari yang menyengat di atas hamparan tanah gurun pasir masih tak seberapa dibanding darah yang mendidih akibat amarah.
Siang itu, Nu'man bin Bisyir menenteng baju gamis milik Sayidina Ustman. Ia bawa baju itu dari Madinah ke pusat kota Syam (Syriah). Baju yang berlumuran darah itu menjadi saksi bisu manakala Ustman dibantai dengan kejam.
Sebelumnya, terjadi peristiwa pengepungan rumah Sayidina Ustman oleh para demonstran dari Mesir dan Kufah (Iraq), yang menuntut Sang Khalifah lengser dari kedudukannya.
Di tengah hiruk-pikuk yang semakin meruncing,
akhirnya ada beberapa penyusup yang berhasil menyelinap masuk rumah dan membunuh Ustman beserta keluarganya.
Nu'man juga membawa serta jari-jari istri Ustman yang dipotong oleh penyusup dan menyerahkannya kepada Muawiyah.
Muawiyah kemudian menempatkan baju gamis Ustman dan potongan jari di podium. Pertunjukan yang tentu disambut hujan air mata penduduk Syam. Jerit tangis dan teriakan histeris tak terbendung demi menyaksikan gamis junjungan mereka penuh darah.
Muawiyah lantas dengan suara menggelegar, di tengah bara api kemarahan warga, menyatakan sumpah, "Saya tidak akan mencampuri istri dan tak akan beristirahat diranjang sampai pembunuh Utsman mendapat hukuman setimpal!"
Sesaat setelah masa kekuasaan dari Sayidina Ustman kepada Sayidina Ali beralih, masih dalam masa transisi, Muawiyah datang menuntut agar Sayidinah Ali menghukum para pemberontak pembunuh Ustman.
Ali bin Abi Thalib menolak lantaran mempertimbangkan untuk terlebih dahulu memulihkan stabilitas keamanan. Situasi yang terkendali merupakan prioritas utama. Apalagi mengingat jumlah demonstran saat peristiwa pembunuhan itu terjadi berjumlah sekitar dua puluh ribuan orang. Jumlah yang cukup besar untuk memicuh perang saudara, yang pasti akan jauh lebih mengerikan dan memakan korban jauh lebih banyak.