Prolog: Benang Kusut Kehidupan
Mungkinkah merajut kain dengan benang yang sudah kusut? Tentu saja mungkin, tapi pasti akan sangat sulit. Seandainya kain rajutan itu jadi, bisa jadi rajutannya akan kusut dan ruwet. Alih-alih menjadi pelindung bagi sang pemakainya, kain itu justru menciptakan ketidaknyamanan bagi si pemakai dan kadang merusak pemandangan bagi yang melihatnya. Setiap gerak langkah sang pemakai akan terganggu, tersandera oleh simpul-simpul kusut bin ruwet yang tak kunjung terurai. Tentu bukan pekerjaan mudah untuk mengurainya. Perlu kerja keras, ketulusan, dan kesabaran untuk bisa mengubah benang kusut itu menjadi kain yang layak dikenakan.
Jika dirasa-rasakan, kehidupan ini terkadang seperti kain yang ingin dirajut, penuh dengan paradoks : menawarkan gemerlap keindahan sekaligus di sana-sini menganga jurang-jurang tantangan yang siap menelan siapa pun yang lengah dan lupa diri. Di satu sisi, hidup memberi peluang untuk menciptakan kebahagiaan. Namun, di sisi lain juga menghadirkan jurang kekusutan, seperti keruwetan masalah, konflik yang terpendam, serta berbagai ketidakpastian yang memaksa kita untuk mau tak mau berusaha mengurai untuk menyelesaikannya.
Dalam gempita riuhnya lingkaran kehidupan di sekeliling kita, pernahkah terlintas pertanyaan reflektif dalam ruang pikir kritis kita: mengapa benang yang sudah jelas kusut masih dipaksakan untuk dirajut? Merajut dengan benang yang kusut!
Tulisan ini hanyalah sebuah perumpamaan. Sebuah gambaran sederhana tentang kehidupan, yang bisa jadi kita pernah mengalaminya. Dalam menjalani hidup, sering kali kita dihadapkan pada situasi yang tidak ideal, seperti mencoba merajut simpul-simpul kehidupan kita dengan "benang kusut". Kita memaksakan simpul-simpul yang rumit untuk disatukan, berharap akan berbuah sesuatu yang indah, meskipun dengan penuh kesadaran kita tahu bahwa hasilnya mungkin penuh dengan ketidaksempurnaan.
Jalinan kain, layaknya kehidupan, adalah hasil dari rajutan harmoni kehidupan. Ketika benang yang kita gunakan adalah benang kepercayaan, welas asih, dan pengertian terhadap sesama; maka kain itu akan menjadi simbol kebersamaan yang kokoh dan kuat. Namun, jika rajutan itu menggunakan benang problematika yang kusut (seperti ego, kesalahpahaman, atau keengganan untuk memahami satu sama lain) maka rajutan harmonisasi hidup yang dihasilkan hanya akan menjadi simbol pemantik konflik yang akan semakin mendegradasi kebermaknaan hidup itu sendiri.
Yahhh.... Harmoni kehidupan ini memang penuh dengan paradoks. Tetapi justru dalam paradoks itulah kebermaknaan hidup ditemukan. Pertanyaannya adalah: sejauh mana kita mampu mengurai kekusutan itu? Sejauh mana kita berani untuk memilih benang yang tepat untuk merajut kain kehidupan yang bermakna?
Mengurai Simpul Problematika Hidup
Suatu kali mungkin kita (atau melihat orang di sekeliling kita) terjebak dalam benang kusut kehidupan? Benang kusust itu seperti jejaring jalinan problematika hidup yang ruwet, tuntutan serta tekanan dari berbagai tanggung jawab yang harus ditunaikan, kesulitan ketika harus mengambil keputusan, atau beban emosional yang menumpuk tanpa ada ruang penyelesaian. Benang kusut ini menjadi metafora dari ketegangan yang sering kita rasakan, sebuah paradoks antara harapan untuk menggapai ketenangan, kebahagiaan, sekaligus kenyataan yang penuh tantangan. Ketika jalinan harmoni kehidupan dirajut dengan benang problematika yang kusut, maka hasilnya adalah kehidupan yang juga problematik, penuh masalah! Sama halnya seperti kain kusut yang sulit untuk dikenakan dengan nyaman, hidup yang penuh kekusutan hanya akan membawa lebih banyak beban daripada kedamaian.
Kehidupan, dalam berbagai sisi paradoksnya, juga memberikan ruang bagi kita untuk menciptakan harmoni. Ada dua persimpangan pilihan : menyerah pada kekusutan atau berusaha untuk mengurainya. Harmoni kehidupan tidak tercipta dengan sendirinya, namun membutuhkan kesabaran serta daya juang untuk menghadapi tantangan, keberanian untuk berubah, dan kebijaksanaan untuk memahami mana yang harus dirajut dan mana yang harus dilepaskan.
Mengurai simpul problematika hidup memang bukan pekerjaan yang mudah. Begitu rumit dan sangat menyita waktu, pikiran, dan perasaan. Ada kalanya usaha itu membuat kita lelah, bahkan hampir menyerah. Tetapi, justru dalam proses itulah kita menemukan makna. Adakalanya kita berhasil mengurai kekusutan itu, namun keberhasilan tersebut dipandang sebelah mata oleh orang lain!
Paradoks kehidupan mengajarkan bahwa ketenangan hanya muncul setelah perjuangan dan keindahan hanya lahir dari keberanian untuk mengatasi kekusutan. Selayaknya seorang perajut yang sabar mengurai simpul-simpul benang, kita pun harus memiliki life skills untuk memahami, menerima, dan menyelesaikan simpul-simpul dalam hidup kita.