Lihat ke Halaman Asli

TRI HANDITO

Kawulaning Gusti yang Mencoba Untuk Berbagi

Mudik: Dari "Paran" Kembali ke "Sangkan"

Diperbarui: 11 April 2024   14:22

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilustrasi mudik lebaran (sumber: dokumen pribadi)

Mudik berkelindan dengan lebaran. Bahkan tak berlebihan kiranya jika ada yang mengatakan bahwa mudik sudah menjadi bagian dari tradisi yang berkembang dalam masyarakat kita. 

Tulisan ini mencoba meneroka mudik sebagai fenomena yang tidak sekedar siklus "ritual" kunjungan keluarga pulang kampung untuk kemudian kembali lagi ke tanah rantau untuk mencari nafkah, dan mudik kembali pada lebaran tahun berikutnya. 

Tulisan sederhana berikut ini mencoba merefleksikan makna mudik, sebagai sebuah metafora perjalanan hidup manusia, yaitu perjalanan hidup dari paran kembali ke sangkan, perjalanan dari permulaan kehidupan manusia untuk kembali kepada hakikat kehidupan tersebut bermula.

Mudik: Sebuah Pertemuan Asa

Mudik... Mungkin kata inilah yang selalu terngiang dalam ruang batin sebagian besar perantau ketika bulan Ramadan tiba, selain tentunya sembari bertekun diri memantapkan iman dengan beribadah di bulan suci. Mereka mempersiapkan segala daya dan upaya untuk bisa mudik dan berlebaran di tanah kelahiran. 

Hal inipun berbanding lurus dengan keluarga yang ada di kampung halaman. Mereka juga sangat berharap keluarga yang berada di tanah rantau bisa mudik dan berkumpul di kampung halaman. Sungguh sebuah pertemuan asa yang sangat mulia: saling berdoa serta berpadu harapan untuk bisa berkumpul dan bersilaturahmi. 

Terbayang suasana yang begitu indah penuh makna : sebuah harmoni dalam ruang perjumpaan bersama dengan orang tua, keluarga, sanak saudara, dan teman-teman di kampung halaman yang ditinggal selama dalam perantauan.

Mudik: Aktualisasi Ikatan Batin dengan Tanah Kelahiran

Mudik, dalam bahasa percakapan sehari-hari berarti pulang ke kampung halaman atau ke tanah kelahiran. Mudik menunjukkan bahwa ada ikatan batin antara seseorang dengan kampung halaman atau tanah kelahirannya. 

Tanpa adanya ikatan batin yang begitu kuat, amat sangat mustahil terjadi pergerakan manusia sebegitu besarnya untuk pulang ke kampung halaman dalam waktu bersamaan pada saat mudik. 

Lalu, apa yang membuat ikatan batin tersebut terasa begitu kuat sehingga mendorong para perantau untuk mudik ke tanah kelahiran mereka? Beberapa hal yang membuat ikatan batin antara para perantau dengan tanah kelahirannya begitu kuat, antara lain sebagai berikut.

1. Aktualisasi bakti kepada orang tua (birrul walidain)

Bentuk ikatan batin yang paling kuat adalah ikatan batin dengan orang tua. Ikatan batin antara anak dengan orang tua merupakan naluri dan fitrah setiap manusia Coba bayangkan, kita dilahirkan oleh orang tua, sedari kecil kita hidup bersama dalam buaian kasih sayang orang tua, kemudian ketika kita bekerja atau menuntut ilmu ternyata harus berpisah dengan orang tua untuk waktu yang cukup lama. Ketika saat lebaran tiba, kita seolah-olah tidak sabar ingin segera mudik untuk bertemu dengan orang tua kita dan bersimpuh di kaki mereka. 

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline