Utak atik kurikulum akan selalu terjadi di dunia Pendidikan kita, dan sebenarnya proses evaluasi itu bukanlah sesuatu yang haram. Namun, yang jadi masalah di pendidikan kita itu bukan di tataran ide atau gagasan, melainkan di implementasinya. Taruhlah kurikulum Merdeka yang sedang di jalankan ini, ide dan gagasannya luar biasa, konsep yang di usung sangat mulia dan memanusiakan. Tapi sayang banyak sekali PR yang harus di kerjakan di gegap gempita nya glorifikasi keberhasilan kurikulum Merdeka yang dilakukan pemerintah. Contohnya di kasus Bahasa Inggris yang sempat di hilangkan di Sekolah Dasar (SD), namun tahun ini Bahasa inggris akan kembali di jadikan sebagai mata Pelajaran wajib.
PR yang mendasar adalah kesiapan guru dalam mengimplementasikan dan kompetensi keilmuan mereka sendiri. Dikarenakan peran guru sebagai ujung tombak dari kurikulum sangatlah penting, maka dari itu, pemerintah seharusnya benar benar serius dalam menyoal keprofesionalan guru Bahasa inggris di SD. Pasalnya, banyak sekali terjadi Bahasa Inggris di sekolah dasar tidak diajar oleh guru bukan dari Bahasa inggris, terutama di sekolah negeri. Bayangkan, sekolah negeri! yang notabene adalah binaan dari pemerintah.
Seperti yang diceritakan oleh salah satu kepala SDN di Gresik jika di sekolah nya tidak ada guru Bahasa Inggris, guru yang lulusan dari Prodi (Program Studi) Bahasa Inggris menjadi guru kelas dan enggan menggajar Bahasa inggris dikarenakan banyaknya beban mengajar. Hal itu terjadi akibat dari peraturan pemerintah yang mengharuskan guru mengajar sekian jam, akibatnya setiap guru harus mengajar apapun guna memenuhi ketentuan, terlepas apapun expertise nya. Guru guru SD ini sama halnya dengan bunglon yang siap berubah keilmuan sesuai dengan kebutuhan.
Guru-guru SD ini bisalah kita sebut dengan "Power Rangers" yang siap membasmi kebodohan kebodohan di negeri tercinta ini. Mereka sungguh perkasa dengan segala magic nya, siap bertempur dengan segala kedikdayaanya. Tapi, mereka juga manusia biasa yang kadang lelah dan lemah. Dalam kasus pengajaran Bahasa inggris, guru yang lintas ilmu, pasti akan kesulitan secara proficiency dan pedagogy. Akibat berdampak pada proses pembelajaran.
Hal tersebut sangat disayangkan, padahal secara hitung hitungan, pada tingkatan SD ini merupakan waktu yang tepat untuk membangun pondasi Bahasa Inggris siswa mengingat waktunya yang cukup lama daripada di sekolah menengah.
Keseriusan dan komitmen pemerintah tentunya dipertanyakan melihat kondisi yang terjadi di lapangan, atau mungkikah pemerintah tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi di lapangan? Atau pura-pura tidak tahu? Tidak heran jika English Proficiency Index Indonesia rendah di bandingkan dengan negara negara ASEAN lainnya, seperti Thailan dan Vietnam.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H