Perempuan yang sudah menikah sering dikait-kaitkan dengan tujuan penghasilan suami, tapi apakah benar hanya untuk perempuan? Ataukah justru untuk kebutuhan pokok bersama? Sebagian besar perempuan yang tidak mempunyai penghasilan akan bergantung hidup sepenuhnya dengan pendapatan suami, maka sering dijadikan suami sebagai tolak ukur serta penyebab direndahkannya seorang perempuan. Berbanding terbalik dengan perempuan mandiri yang bisa memenuhi kebutuhan hidupnya dengan penghasilan sendiri, tidak heran banyak perempuan yang lebih memilih mengutamakan karier daripada rumah tangga. Jika dilihat dari sisi sesama perempuan hal ini justru menguntungkan perempuan sekaligus menyamaratakan seorang laki-laki dan perempuan dalam kematangan finansial.
Perceraian adalah hal utama yang membuat perempuan sakit hati, terlebih lagi terjadi karena adanya tindak kekerasan dalam rumah tangga (KDRT), atau ketidaksetiaan pasangan (perselingkuhan), kedua hal tersebut membuat perempuan condong memilih untuk tidak memafkan. Sedangkan Masalah besar lainnya seperti, ekonomi dan perbedaan visi misi rumah tangga. seorang perempuan yang mempunyai anak tetap akan memilih bertahan bukan untuk dirinya sendiri tapi untuk anaknya. Hal ini mempengaruhi kesehatan mental pada perempuan, kerugian umur pada produktifitas dan masih banyak lagi
Perempuan yang masih hidup dalam stigma kepercayaan masyarakat (sumur, dapur, kasur) akan sulit bangkit karena takut dianggap melawan perintah suami, berbanding dengan perempuan korban kegagalan rumah tangga, mereka akan memilih bangkit memberikan kesempatan untuk diri sendiri lebih leluasa, maju, mandiri serta matang secara finansial.
TJ(37thn) "anak saya yang ketiga, sekarang menduduki kelas 2 SMA, saya ingin setelah lulus ia harus segera menikah, agar ada yang menanggung kehidupannya" berbanding dengan seorang aktivis, Mahasisiwa IAIN Manado SN(22) "kemandirian adalah bentuk merdeka dari seorang perempuan" ujarnya
Kejadian serupa dialami oleh
NB(20thn)"suami saya, begitu pelit pengeluaran harus dirinci semua dan dijelaskan satu persatu kepadanya harus menunjukan semua struk belanjaan. saya sakit hati ketika ditanya kok banyak sekali, dibuat apa uang-uang itu, saya capek bekerja kamu seenaknya dengan uang saya. Saya akan mencari pekerjaan agar tak selalu sakit hati dengan mulutnya". Ujarnya
Tuturan suami seperti inilah yang membuat perempuan sakit hati dan mendorong untuk harus mandiri.
Perempuan harus mampu mandiri dan merubah stigma (sumur, dapur, kasur).
Ketidakberdayaan perempuan ketika menjadi isteri tanpa kemandirian finansial akan membuat laki-laki berkuasa menindas yang tanpa diketahui semua tutur yang dikeluarkan justru membatin untuk perempuan. Hal seperti ini yang banyak ditemukan dalam kehidupan sehari-hari masyarakat, berlindung dengan tutur "saya kepala keluarga saya yang harus didengar" penuturan seperti ini yang sering kali disalah artikan oleh sebagian perempuan.
Memang benar rumah tangga harus dipimpin oleh seorang laki-laki tapi dengan cara yang bagaimana? Pantaskah seorang kepala keluarga memperhitungkan uang yang ia berikan kepada isterinya? Lantas bagaimana dengan perempuan korban kekerasan mental ini? Perempuan identik dengan sifatnya yang lemah lembut serta berhati kecil. Lantas apakah masyarakat akan terus bertahan dengan stigma sumur dapur kasur tersebut, tanpa melihat penindasan kepada perempuan yang terjadi secara tidak langsung?
Dalam islam sendiri perempuan memiliki kedudukan tinggi, mahluk yang dimuliakan oleh Tuhan dengan segala kelebihannya. Antara pria dan wanita islam tidak mengenal diskriminasi perbedaan ada pada tugas dan fungsinya masing-masing
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI