Lihat ke Halaman Asli

Tri Darmanto

Pengajar di Tokyo Indonesian School

Cerpen | Mengapa Tarno Menjemputku?

Diperbarui: 4 Juni 2020   17:04

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

olahan pribadi via Canva

Aku tak sabar mendengar bunyi lempengan besi di depan ruang guru dipukul Pak Syarif. Seolah jarum jam dinding di depan kelas berhenti menghitung waktu. Dua jam pelajaran seperti dua tahun kehidupan. Astaga, waktu selalu sulit untuk diajak kompromi.Oleh karenanya, saat mendengar dentangan tiga kali aku langsung menghambur ke luar. Mendekati ruang perpustakaan dan melihat sahabatku, Tarno duduk menunduk di depan Pak Jumali. 

Wali kelas kami itu bibirnya bergerak-gerak dengan raut muka serius. Sementara, Tarno sesekali mendongakkan wajahnya yang berlinang air mata. Aku terpaku memandangi mereka dari halaman sekolah. Entah apa yang disampaikan Pak Jumali, jendela kaca menyimpan rapat-rapat informasi itu.

Konsekuensi Tarno memang wajib dipanggil oleh Pak Jumali, hari ini ketika ia kembali masuk sekolah setelah dua minggu tidak masuk tanpa jeda. Bulan lalu ia sudah berjanji akan selalu hadir di kelas, mengikuti jam-jam sekolah untuk menyerap ilmu pengetahuan. 

Sebelumnya, di kelas 3 memang Tarno sering bolos tidak masuk sekolah. Alasannya klise, dua nyawa tergantung padanya setelah simboknya meninggal tahun lalu. Bapaknya, entah dia tidak tahu bagaimana nasibnya setelah lima tahun lalu pergi merantau ke Jakarta.

“Menelantarkan dua adikku yang kelaparan di rumah adalah dosa, Man.” Aku mencoba menenangkan Tarno yang masih terisak-isak. 

Aku mengajaknya duduk di bawah pohon trembesi belakang sekolah.“Perut mereka lebih berharga dari apapun, termasuk sekolahku.” 

Aku mendekapnya dengan tangan kanan, paling tidak perasaannya akan sedikit tenang. Itulah hal yang bisa aku lakukan sebagai teman: teman semeja, teman sekelas ataupun sebagai teman meluapkan pahit getir hidup.

“Pak Jumali tadi menyampaikan bahwa aku harus memilih: memilih serius sekolah di sini atau .... “

“Atau ... apa Tar?” Tanyaku lirih menyambung ucapannya yang menggantung.

“Ah, kamu pasti sudah tahu apa lanjutannya kan?”

Angin siang sesekali berhembus sepoi, menerpa wajah-wajah ndeso kami. Daun trembesi yang menaungi, satu dua, terjatuh mengikuti arah angin. Mata kami menerawang jauh, menembus sawah-sawah yang seakan tidak mau bertepi.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline