Kasidi 156 Lupa Juga Karunia
Dulu semasa sekolah di kala remaja, ketika 'komputer' masih terdengar sayup-sayup di negara nun jauh di sana, masalah mengingat-ingat rasanya menduduki peringkat pertama. Mengapa? Karena gagal melakukannya, wah bisa bencana. Ulangan tidak lulus, ujian hancur, rapor merah dan ujung-ujungnya ya dimarah. Pendek kata semua data dari buku hendak dipindahkan ke kepala karena jika ujian dijaga ketat, hanya kepala dan isinya yang dapat diandalkan.
Hanya saja ternyata bukan itu saja. Bahkan di luar kelas, kemampuan mengingat dan mencari secara manual pentingnya luar biasa. Peran perpustakaan yang biasanya bukunya tidak banyak dan tidak mutakhir juga sangatlah penting. Tetapi kemudian 'revolusi penyimpanan data' begitu saja melanda dunia. Semuanya berubah begitu drastis dan dahsyat.
Memang pada awalnya hanyalah di kota-kota, sementara yang di desa-desa yah masih sama saja, bahkan sampai sekarang juga. Informasi dan data berbalik seratus delapan derajat semua aspeknya. Yang paling utama tentu saja tehnik dan gaya penyimpanannya.
Bangunan bertingkat dan ruangan besar lengkap dengan rak berderet-deret untuk menyimpan informasi dan data, perlahan tetapi pasti, diubah oleh 'sesuatu' yang bentuknya semakin lama semakin kecil tetapi kemampuan menyimpannya semakin ''mega', semakin 'giga', semakin 'tera', dan seterusnya dan seterusnya. Juga dapat dibawa ke mana-mana bahkan tanpa terasa.
Yang dimaksud dengan seterusnya di sini adalah peta, eksa, zeta, yota, yang dalam bahasa bilangannya kurang lebih bermakna sepuluh pangkat 15, 18, 21, 24, secara berurutan. Lalu bagaimana dengan kelanjutannya? Kasidi dengan enteng menjawab ya pakai saja kosa bahasa nusantara yang sudah diproklamasikan sebagai bahasa internasional itu sebagai dasar penciptaan kata baru zaza, wawa, rara, sasa, vava yang secara berurutan adalah sepuluh pangkat 27, 30, 33, 36, 39. Jika nantinya masih kurang ya lapor saja pada Kasidi nanti tentu akan dibuatkan. Hehehe ...
Perpustakaan tetap ada, tetap penting, tetap banyak peminatnya tetapi ketika semua isi perpustakaan dunia benar-benar bisa masuk dalam gudang yang tidak lebih besar dari kelereng biasa, maka perpustakaan biasa dan konvensional jelas akan berubah fungsinya. Bukan sebagai tempat untuk mencari informasi atau data tetapi mungkin tempat untuk bertemu kolega, ngobrol bersama membicarakan betapa indahnya dulu ketika begitu banyak siswa dan mahasiswa datang ke perpustakaan untuk bercengkerama dengan buku-buku tua.
Informasi dan data aman tersimpan -- semuanya -- dan dapat dikeluarkan seketika jika memang ada yang memerlukannya. Realita ini mungkin tidak banyak disadari betapa pada dasarnya ingatan manusia -- mungkin otak ya pusatnya -- sudah sejak lama melakukan hal yang sama.
Ingatan manusia mampu menyimpan dan mengingat banyak hal walau pada saat yang sama juga melupakannya. Disimpan dan sama sekali tidak diingat-ingat jika memang tidak ada yang memerlukannya, begitulah cara kerja otak manusia berkaitan dengan informasi dan data. Dikeluarkan dan disajikan jika tiba-tiba diperlukan. Hanya saja otak kita sering 'ngadat' dan menolak bekerja, sementara piranti yang ciptaan manusia, asalkan semua elemen penunjangnya ada, dijamin jarang mogok dan lancar kerjanya.
Kemudian tentang lupa, hal yang mungkin tidak pernah ada pada piranti ciptaan manusia. Manusia tampaknya harus bersyukur karena ingatannya mempunyai kemampuan untuk lupa, walau kemampuan ini seringkali kelewat canggih kerjanya, sehingga ketika diperlukan juga tetap lupa. Mengapa? Karena lupa benar-benar karunia yang tidak terhingga dari Sang Mahapencipta.