Kasidi nomor 606 Imlek dan Buah
Rasanya tidak ada Imlek dirayakan tanpa kehadiran buah. Setelah berpuluh tahun merayakan imlek dengan sederhana, mulai dari generasi kakek dan nenek buyut sampai dengan generasi cucu saat ini, pada sembahyang tahun baru imlek selalu ada nasi, mie. ayam utuh, bandeng, daging babi samsam, dan banyak jenis masakan lain, serta segala macam kue yang biasa dimasak atau dibeli seperti kue mangkok, kue kura-kura, serabi besar, spiku, dan masih banyak lagi. Lalu bagaimana dengan buah dan sayur? Selalu ada dan pasti ada. Mungkin sederhana tetapi selalu ada.
Buah semangka, umpamanya. Buah ini rasanya selalu ada bahkan dulu disertai lengkap dengan ceritanya bagaimana Dewa Hujan dihukum penggal karena berani melanggar perintah Thian, perintah Tuhan Allah. Jadi diceritakan kala itu di sebuah kota ada seorang peramal yang dikenal tidak pernah salah. Ramalannya selalu benar. Ketika berita ini sampai ke telinga sang Dewa Hujan timbullah niat isengnya, niat yang kemudian mendatangkan petaka yang pada gilirannya nanti membuat buah semangka menjadi buah yang harus ada pada setiap sembahyang imlek.
Dewa Hujan turun ke bumi, menyamar sebagai petani biasa, mendatangi si peramal dan bertanya, apakah besok akan turun hujan. Setelah berpikir dan merenung sejenak si peramal mengatakan bahwa besok tepat tengah hari, hujan lebat akan turun selama terbakarnya satu hio. Orang banyak yang ikut mendengarkan angguk-angguk kepala. Dewa Hujan menggelengkan kepala dan spontan berkata bahwa hal itu tidak mungkin terjadi. Ini musim kemarau dan dari langit tidak ada perintah untuk menurunkan hujan esok siang. Jelas peramal ini ngawur dan sok tahu.
'Hehehe, kukira ramalanmu pasti tidak benar,' kata sang Dewa Hujan yang sedang menyamar dengan suara keras sambil melihat berkeliling. Sebagian orang yang mendengar komentar ini tampak setuju sedangkan yang lain tampak menggelengkan kepala. Selama ini apa yang disampaikan peramal selalu tepat dan benar. Kali ini mereka juga yakin bahwa ramalan itu pasti benar.
'Baik besok tepat sebelum tengah hari aku akan kembali ke sini, dan kita lihat ucapanku yang benar atau ramalanmu yang benar.'
Dengan gembira sang Dewa Hujan kembali ke istananya. Dia yakin bahwa besok siang dia akan mempermalukan si peramal. Ini musim kemarau dan tidak apa perintah menurunkan hujan dari langit, dari Tuhan Allah.
Sesampainya di istana Dewa Hujan disambut para selirnya, makan malam meriah sudah disiapkan. Catatan perintah dari langit diperiksanya sekali lagi. Tidak ada perintah menurunkan hujan, apalagi hujan deras sepembakaran satu hio tepat tengah hari besok. Selesai makan malam meriah, Dewa Hujan dengan gembira ke peraduan ditemani para selirnya. Semua bahagia, semua gembira.
Keesokan harinya, bangun terlambat setelah berpesta semalaman dengan para selir, Dewa Hujan bangun sudah agak siang. Dia ingat bahwa nanti siang harus kembali menyamar ke bumi dan melihat bagaimana si peramal akan dibuatnya malu. Selesai mandi lengkap dengan jubah kebesarannya, dia memeriksa sekali lagi catatan perintah dari langit, dari Tuhan Allah, sebelum makan dan kemudian kembali turun ke bumi dengan menyamar.
Wajah riang Dewa Hujan berubah menjadi pucat tatkala pada buku perintah langit tiba-tiba tercetak perintah agar tepat tengah hari di kota tempat si peramal tinggal hujan lebat harus dicurahkan selama sepemasangan hio. Ya ampun, desahnya tidak percaya. Bagaimana ini bisa terjadi? Hanya saja perintah itu tegas dan jelas. Tengah hari, Hujan deras sepembakaran hio. Di kota tempat si peramal tinggal. Itu perintahnya.