Lihat ke Halaman Asli

Tri Budhi Sastrio

Scriptores ad Deum glorificamus

Essi Nomor 425: Tak Ada yang Abadi Kecuali...

Diperbarui: 23 April 2021   15:01

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

https://www.behance.net/search/projects?search=sapardi%20djoko%20damono

Essi 425 -- Tak Ada Yang Abadi Kecuali ...
Tri Budhi Sastrio

Kala kata diperas manusia sampai pada batasnya,
Yang tersisa tak hanya sari makna juga ampasnya.
Begitu juga jika seharusnya cukup diam tak bicara
Tapi kata berbusa-busa memenuhi samudera raya
Apa yang harus dikata, ya diterima, dinikmati saja
Toh ampas kata sudah ada, sudah menjadi nyata.
Lalu pada gilirannya tentu saja, ada yang memuja,
Ada yang tidak suka, dan ada juga tak peduli apa.
Itulah adat dunia yang pasti tidak baka, pasti fana.

Lalu tiba-tiba saja, di antara busa-busa samudera,
Ada yang dengan lantang walau sayup-sayup kata
Yang fana adalah waktu, kita abadi, itulah katanya.
Wow luar biasa, meskipun ini hanya petikan biasa,
Dari Sarwono dan Pingkan via email dialog mereka.
Bagi mereka yang para penggila perasan kata-kata
Ini tentu saja indah mempesona, sarat luapan jiwa,
Betapa dialog dan cinta kita baka abadi terasanya.
Tetapi jika anak manusia yang lugu polos hatinya,
Sempat melirik hasil nan nyata perasan kata-kata
Mungkin bertanya-tanya, bukankah guru kelasnya
Dengan semangat menjelaskan lidah bibir berbusa  
Bahwa yang abadi hanya satu, Ia yang Mahakuasa
Lalu bagaimana bisa, kita, ya kita yang jatuh cinta?
Badai berbalut kata bahwa waktu adalah yang fana
Ya tidak apa-apa, tetapi kita, kita pemeras makna?
Yah ... hahaha ... kalian itu memang ada-ada saja.

Kemudian pada busa-busa permukaan samudera,
Juga ditulisnya tentang keinginan sederhana pria,
Betapa Aku ingin mencintaimu dengan sederhana.
Ini bagus dan luar biasa karena setiap kali ini kata,
Sederhana, dan juga bersahaja diguna, luar biasa
Dampak dan perbawanya; busa makna boleh saja
Sederhana dan bersahaja, tapi sari pati inti makna  
Justru mencakup rajut bentang raya alam semesta.
Angkat topi kepada perasan kata sampai batasnya.
Kemudian, inilah centilnya sang penyair rajut rona
Yang berhasil tangkap desah jiwa kayu bakar cinta
Yang tak sempat ucap apa-apa pada api membara
Yang menjadikannya abu takdir terbakar oleh cinta.
Juga awan pada hujan yang tidak sempat bertanya
Mengapa ia pada akhirnya tiada hanya karena dia?

Lalu doa, doanya, doa si peniup busa samudera,
Bahwa hanya doanya yang bergetar, yang dirasa,
Dan lanjutnya kau tak pernah lihat aku ini siapa,
Tapi yakin aku ada di dalam dirimu, pungkasnya.
Semua sarat dengan metafora, ini yang dibicara,
Tetapi itu yang dimakna, ini yang dijadikan busa,
Tapi yang itu yang didorongnya jauh ke angkasa.

Juga dia pernah bicara tentang hujan bulan Juni.
Jika ada yang bertanya kok Juni dan bukan Juli?
Pertanyaan ini tak perlu dijawab karena itu nisbi.
Bincang boleh jika berani menulis, seperti Kasidi,
Yang bertekad jika sempat, tulis hujan bulan Juli.
Ia bilang tak ada yang lebih tabah dari bulan Juni,
Kasidi lantang bilang sejatinya justru di bulan Juli
Hujan sangat tabah sekali karena berikutnya sepi
Hujan berhenti karena memang kemarau tiba lagi.
Tapi baiklah, ini panggungmu, jadi oke bulan Juni.
Hujan bulan Juni dikata paling tabah paling berani
Karena ia berhasil merahasiakan rintik rindu sejati.
Jejak kaki ragu-ragu juga dihapus dengan berani
Sampai akhirnya yang tidak terucap dalam sunyi  
Juga dengan berani diserap akar pohon bunga ini.

Begitulah dan masih banyak lagi, sampai hari ini,
Para pengagum tentu akan segera ingat kembali
Kalau engkau pernah bilang jika suara hari nanti
Jasadku tak ada lagi, tetapi kau hampirlah pasti,
Antara busa-busa samudera luas hamparan kata
Engkau akan selalu tidak letih-letihnya mencari.

Entah pernah membaca entah tidak, terpercik api  
Pesan wanita bersahaja yang tak ragu kurung diri
Sempat berpesan bahwa kata memang akan mati
Setelah diucap serta tidak ada yang cukup berani
Memeras menjadikan ia busa-busa samudera hati.
Entah ia tahu ini lalu muncul inspirasi bahwa nanti
Jika raga tidak ada lagi, yang tersisa hanya puisi,
Yang penting semua itu memang kebenaran sejati.
Bon Voyage guru sejati, sampai jumpa lagi nanti.
 
Essi nomor 425 -- SDA21072020 -- 087853451949

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline