Lihat ke Halaman Asli

Tri Budhi Sastrio

Scriptores ad Deum glorificamus

Essi Nomor 225: Pahlawan pun Kehabisan Airmata

Diperbarui: 21 April 2021   10:02

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

https://www.facebook.com/Sajak Senja

Essi 225 -- Pahlawan pun Kehabisan Airmata
Tri Budhi Sastrio

Yang namanya pahlawan nasional di Indonesia
     cukup banyak jumlahnya.
Data terakhir -- kalau tidak salah ya -- ada 159
     lengkap dengan SK negara.
Yang lebih banyak lagi tentu saja pahlawan tanpa SK
     walau mereka nyata.
Bahkan sangat nyata serta bertebaran di mana-mana,
     dan jika bicara jasa,
Tentu saja mereka tidak kalah besar dengan yang
     ditetapkan oleh negara.
Lebih besar mungkin tidak tetapi sama besar jasanya
     pada negara bisa ya.
Pahlawan nasional tentu saja mempunyai banyak
     persyaratan serta kriteria,
Kalau tidak, semua yang telah meninggal dunia
     dan berjasa pada bangsa,
Haruslah diangkat menjadi pahlawan negara
     tetapi nyatanya kan tidak juga.
Sebagai informasi mungkin ada baiknya ditilik
     sejenak apa saja kriterianya,
Sehingga seseorang berhak diberi label
     pahlawan nasional ... milik bangsa.

Pertama jika telah meninggal dunia, masih hidup
     bukan pahlawan namanya.
Yang kedua melakukan perjuangan bersenjata,
     tetapi sekarang mana ada,
Maka perjuangan politik atau di bidang lainnya
     juga tidak apa-apa asal saja
Punya dampak positif bagi tetap kokohnya
     persatuan dan kesatuan bangsa.
Yang ketiga mempunyai gagasan dan pemikiran
     besar guna tunjang semua,
Semua aspek pembangunan bangsa negara,
     dan ini tidak mudah tentunya.
Belum lagi bukankah ini semua abstrak saja,
     sehingga apa parameternya?
Yang keempat berkaitan dengan karya besar
     bagi Indonesia ataupun dunia.
Karya besar yang dimaksud bukanlah karya sesaat,
     apalagi hanya satu saja,
Dan akan lebih dihargai jika karyanya melebihi
     tugas rutin yang diembannya.
Yang kelima, perjuangan lokal tentu saja tidak
     apa-apa ... tetapi dampaknya
Tentu saja tak boleh jika hanya satu desa saja,
     dampak nasional harapannya.
Sedangkan yang keenam berkaitan dengan
     konsistensi semangat serta jiwa,
Pantang surut pantang padam, semua guna
     kepentingan bangsa dan negara.
Berikutnya berkaitan dengan masalah akhlak
     dan moral, inilah kriteria utama,
Yang sebagai ikutannya tentu saja tidak pernah
     melakukan perbuatan tercela.
Akhlak, moral, perbuatan tercela, akan sangat
     disorot pakai segala kacamata,
Satu saja tidak beres, rusaklah seluruh nilai
     perjuangan yang sudah lama ada.
Dan semua kriteria yang sulitnya tidak terkira-kira
     ini masih ada tambahannya.
Walau mungkin cuma lima ... tetapi yang jelas
     tidak kalah sulit pencapaiannya.
Pengakuan masyarakat, catatan tertulis, monumen,
     foto dan bukti-bukti lainnya,
Jelas bukan kriteria yang biasa, itulah sebabnya
     pahlawan nasional Indonesia
Seratus enam puluh saja belum genap tampaknya,
     padahal pahlawan negara
Kan ada dan bertebaran di mana-mana ... walau
     mereka tidak minta apa-apa.

Sekarang hari phala-wan kembali akan bergema
     di langit angkasa nusantara.
Bendera pusaka yang pernah dibela akan kembali
     berkibar megah di angkasa.
Hormat, tabik dan salut, serta renungan pada
     kembara semangat penuh nyala
Hampir dapat dipastikan segera memenuhi media
     serta relung sukma bangsa.
Semangat yang masih di dunia tampaknya akan
     menggelegak penuh nuansa,
Jika bukannya romantika perjuangan ya romantika
     indahnya membela sesama.
Ini bagus, ini indah, ini membuat bangga ...
     perjuangan kami tidaklah sia-sia ...
Mungkin banyak phala-wan yang masih tetap
     tegar dan sanggup berkata-kata.
Yang kami perjuangkan dulu memang tidak sia-sia,
     teladan pun ada catatannya.
Hanya saja ... sampai di sini tampaknya suara
     mereka parau tersendat nestapa,
Melihat betapa banyak anak muda yang sebenarnya
     menjadi harapan bangsa,
Eh ... setelah beruntung diberi kuasa, bukannya
     sikap pejuang jadi teladannya,
Eh ... malah gaya penjajah durhaka yang terus
     menghisap harta di atas derita,
Yang dijadikan pedoman utama menjalankan
     otoritas dan kuasa, ini bagaimana?
Kalian memang sudah merdeka tetapi bukan
     merdeka korupsi, korupsi merdeka.
Merdeka untuk berkarya, merdeka untuk berbuat
      bagi sesama, bukan lainnya.

Negara ini memang tegar dan perkasa, tetapi jika
     darahnya dihisap tanpa jeda,
Lama-lama akan sempoyongan juga, lalu bagaimana
     dengan anak-anak bangsa
Yang mempercayakan hidup dan masa depannya
     pada kaki kokoh dan tegarnya?
Bukankah mereka tidak akan pernah tiba walau
     hanya ke dekat gerbangnya saja?
Hampir di semua lini, anak-anak muda yang sekarang
     sempat memegang kuasa,
Eh, pekerjaan utamanya ternyata menghisap darah
     negara dengan beragam cara.
Benar-benar sulit dipercaya ... tidakkah mereka
     ingat betapa para pendahulunya
Dengan beragam cara termasuk mengorbankan harta,
     keluarga serta jiwa raga,
Pamrih tidak ada, kepentingan pribadi apalagi,
     mereka itu berjuang agar negara
Bisa bebas merdeka, merdeka dari hisapan darah
     para drakula, tetapi nyatanya?
Sekarang drakula penghisap darah negara semakin
     banyak, ada di mana-mana.
Mengusir juga tidak bisa ... bagaimana mengusir ...
     mereka kan pemilik negara?

Pertama bunda pertiwi yang habis dan kekeringan
     air mata karena ini fenomena.
Berikutnya para pahlawan yang mempunyai
     sk negara, mereka juga persis sama.
Setelah puas berderai air mata, akhirnya hanya
     terdiam tidak lagi bisa bersuara,
Air mata sudah tidak bersisa, sementara duka
     terus saja datang menyeruak tiba.
Beginilah jadinya jika di semua lini penghisap
     darah dan perompak harta negara
Berpesta riang gembira menikmati hasil jarahan
     mereka, kami kehabisan air mata.
Hanya inilah keluhan yang terlontar sia-sia ...
     lalu bagaimana pahlawan lainnya?
Pahlawan yang tidak ber-sk tetapi jumlahnya
     jutaan dan tersebar di mana-mana?
Yah ... ternyata mereka juga sama, diam
     tak bersuara karena kekeringan air mata.
Tangis telah lama pecah, memang keras pada
     mulanya, kemudian terisak jadinya,
Dan sekarang tak ada suara apa-apa, bukan karena
     tidak berduka, tetapi karena
Tak ada air mata guna mengiringinya, semua kok
     tidak jujur ... berdusta kerjanya.

Tetapi memang tidak adil juga jika konteks dan masa
     berbeda diminta tetap sama.
Dulu kan jelas musuh faktualnya, penjajah namanya,
     ada orangnya ada wujudnya.
Sekarang ini musuh faktual jelas tetap saja ada
     tetapi wujudnya yang sulit diterka.
Yang lebih parah di samping wujud tak jelas eh ...
     lokasinya ternyata di dalam jiwa.
Perang itu mudah susun strateginya jika sang musuh
     faktualnya ada di luar sana,
Tetapi kalau musuh di dalam jiwa seperti sekarang ...
     bukan kepalang susahnya,
Belum lagi bicara persepsinya, karena di dalam
     tak terasa jika itu musuh adanya.
Inilah konteks perjuangan masa kini ... bagaimana?
     masihkah dianggap sama?
Kalian dulu enak, musuh ada, lokasinya di luar sana,
     godaan pun minim-minim saja.
Kami sekarang sulitnya luar biasa, musuh terus ada,
     lokasi di dalam hati dan jiwa,
Dan godaannya ... wah ... benar-benar hebat
     luar biasa, jadi kewalahan kan biasa?
Memangnya kami tidak ingin seperti kalian,
     hidup terbuka, jujur dan tanpa dusta?
Berjuang tanpa pamrih, tanpa memikirkan balas jasa,
     untuk kepentingan sesama?
Kami juga begitu cita-citanya, tetapi bagaimana bisa
     jika medan juangnya berbeda?
Kalau tidak percaya ... ya kalian kembali saja ...
     coba benahi ini dunia penuh goda?
Bukan merendahkan, tetapi tidak keok pada
     ronde pertama, itu mukjizat namanya.

Para pahlawan biasa yang tersebar dan ada
     di mana-mana geleng-geleng kepala.
Jika begini cara berpikirnya ... yah ... kapan
     menangnya, kalah terus rasanya iya.
Kami dulu juga harus mengalahkan lebih dahulu
     yang ada di dalam dada dan jiwa,
Kalau tidak memangnya kami sanggup korbankan
     segala-galanya termasuk jiwa?
Kami sekarang memang sudah kehabisan air mata,
     tetapi harapan masih saja ada.
Kami benar-benar tak percaya jika anak-anak muda
     tidak mampu jujur tanpa dusta.
Dulu bisa, sekarang juga sama, pasti bisa ...
     karenanya ayo dimulai sekarang juga.
Beranilah bersikap jujur, terbuka dan tanpa dusta,
     dan kami tak perlu lagi air mata
Karena memang untuk apa, toh semua sudah lurus
     sederhana, hidup tanpa dusta.
 
Essi nomor 225 -- POZ05112012 -- 087853451949

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline