Lihat ke Halaman Asli

Tri Budhi Sastrio

Scriptores ad Deum glorificamus

Essi Nomor 151: Syukur itu Tanda Suka Cita

Diperbarui: 24 Maret 2021   10:48

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

society6.com

Essi 151 -- Syukur itu Tanda Suka Cita
Tri Budhi Sastrio

Pernah dinasehatkan begini oleh sang bijaksana
          yang sekarang jadi pujaan manusia.
Senantiasalah bersyukur, kataNya, jika hari ini
          tidak bisa belajar banyak sepuasnya,
Ya tetaplah bersyukur karena masih bisa belajar
          walau hasilnya hanya sedikit saja.
Kalau belajar sedikit saja juga tidak bisa karena
          sejumlah kendala yang luar biasa,
Ya tetap bersyukur karena walau gagal belajar
          tetapi kan tetap sehat seperti biasa.
Jika umpamanya badan tiba-tiba saja sakit semua,
          sebabnya juga tidak diduga-duga,
Yah syukur juga harus dipanjatkan karena masih
          diberi sakit yang juga karuniaNya.
Masih sakit dan tidak langsung meninggal dunia
          kan sesuatu yang besar hikmahnya.
Kalau pun seandainya segera meninggal dunia,
          syukur tetaplah haruslah dipelihara,
Karena bisa meninggal seperti layaknya manusia biasa
          kan juga berkat istimewa.
Singkat kata sang bijaksana mungkin ingin terus
          meneruskan pada semua muridNya
Bahwa dalam hidup ini tidak ada yang tidak pantas
          disyukuri mulai sejak hari lahirnya
Sampai hari matinya manusia, semua syukur
         dan syukur dan syukur dan tidak lainnya.

Tetapi bagaimana jika jangankan belajar yang
          merupakan barang mewah dan berharga,
Dapat makan sehari saja sulitnya luar biasa,
          harkat, martabat dan harga diri taruhannya?
Keluhan ini memang hanya dibisikkan seorang murid
          yang duduk manis di pojok sana,
Tetapi sang bijaksana yang telinganya memang tajam
          setajam penyadap milik NASA,
Eh bisa mendengar juga dan ... kemudian tersenyum
          lebar seperti makin gembira saja.
Itu juga termasuk didalamnya, bisa mempertaruhkan
          harkat, martabat dan harga diri kita
Termasuk peluang yang amat dan sangat istimewa
          karena kita masih mempunyainya.
Coba bayangkan kalau yang tiga ini tidak punya
          lalu apa yang membuat kita bangga?
Si murid terdiam bukan karena kehabisan kata-kata
          tetapi mungkin hanya sungkan saja.
Sang bijaksana yang memang cerdas tak terkira-kira
          tentu paham ini isyarat dan makna.
Diam tidak selalu berarti dapat menerima, bisa saja
          di dada deburannya bak samudera.  
Karenanya sambil tersenyum lebar dilanjutkan lagi
          kuliahnya cuma kali ini dengan cerita.

Seorang pendeta yang tentu saja dari kasta brahmana
           sedang berjalan mengembara.
Tugas yang diembannya banyak tak terkira-kira karena
           harus mengajar di mana-mana,
Dan tidak boleh menerima imbalan apa-apa, kalau lapar
           dan dahaga ya harus meminta.
Meminta biasanya hanya untuk yang diperlukan saja,
           menerima kadang kala apa saja.
Suatu ketika selesai mengajar dan kembali harus
           berjalan ke lain desa, eh rasa dahaga
Tiba-tiba datang begitu saja, hanya untung
           di dekat-dekat sana memang ada sumurnya.
Seorang wanita sedang menimba, brahmana berhenti
           menyapa dan berkata apa adanya.
Wanita melengak tidak percaya, apa tidak salah nih
           pendengarannya, seorang pendeta
Meminta air dari dirinya yang matanga, bukankah
           sering diajarkan bukan begitu caranya.
Ingat akan kebiasaan dan adat di desanya,
           sang wanita menjawab lirih, siapakah andika
Wahai pendeta mulia ... Ananda menyebut namanya
           dan kemudian Pakati si wanita
Melanjutkan lirih adalah tidak biasa dan tidak boleh
           wanita kasta matanga seperti dia,
Memberi air pada pendeta mulia karena bisa saja
           sang pendeta jadi tercemar karenanya.
Ananda tersenyum geli sebelum akhirnya tertawa
           gembira seperti ada yang lucu saja.
Pakati si wanita matanga tentu semakin tidak mengerti
           mengapa ini pendeta tertawa.
Lho aku kan tidak meminta kau punya kasta,
           aku kan hanya meminta air karena dahaga.
Sekarang. kasta katanya sudah tidak ada, semua
           manusia sama kewajiban dan haknya.
Semua manusia sama peluangnya, semuanya
           berhak menjadi penguasa atau kaya raya,
Tetapi karena realita dunia tidak memungkinkan
           ini semua, jadi faktanya tetap saja beda.
Yang lebih parah karena nun jauh di sana di negara
           yang kaya raya melimpah hartanya,
Anggapan bahwa TKI dan TKW kita masih seperti
           budak belian tetap terus terpelihara.
Lalu apanya yang sama kalau majikan di sana
           anggap semua yang bekerja budaknya?
Tetapi seperti judul catatan ini bahwa syukur
          tanda suka cita, anjurannya jadi sederhana,
Bersyukurlah karena masih bisa menjadi TKI dan TKW,
          budak belian kan cuma labelnya,
Kalian semua warga terhormat ini negara,
         pengirim devisa tanda kita makmur sejahtera.

Essi nomor 151 -- POZ05052012 -- 087853451949

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline