Essi 151 -- Syukur itu Tanda Suka Cita
Tri Budhi Sastrio
Pernah dinasehatkan begini oleh sang bijaksana
yang sekarang jadi pujaan manusia.
Senantiasalah bersyukur, kataNya, jika hari ini
tidak bisa belajar banyak sepuasnya,
Ya tetaplah bersyukur karena masih bisa belajar
walau hasilnya hanya sedikit saja.
Kalau belajar sedikit saja juga tidak bisa karena
sejumlah kendala yang luar biasa,
Ya tetap bersyukur karena walau gagal belajar
tetapi kan tetap sehat seperti biasa.
Jika umpamanya badan tiba-tiba saja sakit semua,
sebabnya juga tidak diduga-duga,
Yah syukur juga harus dipanjatkan karena masih
diberi sakit yang juga karuniaNya.
Masih sakit dan tidak langsung meninggal dunia
kan sesuatu yang besar hikmahnya.
Kalau pun seandainya segera meninggal dunia,
syukur tetaplah haruslah dipelihara,
Karena bisa meninggal seperti layaknya manusia biasa
kan juga berkat istimewa.
Singkat kata sang bijaksana mungkin ingin terus
meneruskan pada semua muridNya
Bahwa dalam hidup ini tidak ada yang tidak pantas
disyukuri mulai sejak hari lahirnya
Sampai hari matinya manusia, semua syukur
dan syukur dan syukur dan tidak lainnya.
Tetapi bagaimana jika jangankan belajar yang
merupakan barang mewah dan berharga,
Dapat makan sehari saja sulitnya luar biasa,
harkat, martabat dan harga diri taruhannya?
Keluhan ini memang hanya dibisikkan seorang murid
yang duduk manis di pojok sana,
Tetapi sang bijaksana yang telinganya memang tajam
setajam penyadap milik NASA,
Eh bisa mendengar juga dan ... kemudian tersenyum
lebar seperti makin gembira saja.
Itu juga termasuk didalamnya, bisa mempertaruhkan
harkat, martabat dan harga diri kita
Termasuk peluang yang amat dan sangat istimewa
karena kita masih mempunyainya.
Coba bayangkan kalau yang tiga ini tidak punya
lalu apa yang membuat kita bangga?
Si murid terdiam bukan karena kehabisan kata-kata
tetapi mungkin hanya sungkan saja.
Sang bijaksana yang memang cerdas tak terkira-kira
tentu paham ini isyarat dan makna.
Diam tidak selalu berarti dapat menerima, bisa saja
di dada deburannya bak samudera.
Karenanya sambil tersenyum lebar dilanjutkan lagi
kuliahnya cuma kali ini dengan cerita.
Seorang pendeta yang tentu saja dari kasta brahmana
sedang berjalan mengembara.
Tugas yang diembannya banyak tak terkira-kira karena
harus mengajar di mana-mana,
Dan tidak boleh menerima imbalan apa-apa, kalau lapar
dan dahaga ya harus meminta.
Meminta biasanya hanya untuk yang diperlukan saja,
menerima kadang kala apa saja.
Suatu ketika selesai mengajar dan kembali harus
berjalan ke lain desa, eh rasa dahaga
Tiba-tiba datang begitu saja, hanya untung
di dekat-dekat sana memang ada sumurnya.
Seorang wanita sedang menimba, brahmana berhenti
menyapa dan berkata apa adanya.
Wanita melengak tidak percaya, apa tidak salah nih
pendengarannya, seorang pendeta
Meminta air dari dirinya yang matanga, bukankah
sering diajarkan bukan begitu caranya.
Ingat akan kebiasaan dan adat di desanya,
sang wanita menjawab lirih, siapakah andika
Wahai pendeta mulia ... Ananda menyebut namanya
dan kemudian Pakati si wanita
Melanjutkan lirih adalah tidak biasa dan tidak boleh
wanita kasta matanga seperti dia,
Memberi air pada pendeta mulia karena bisa saja
sang pendeta jadi tercemar karenanya.
Ananda tersenyum geli sebelum akhirnya tertawa
gembira seperti ada yang lucu saja.
Pakati si wanita matanga tentu semakin tidak mengerti
mengapa ini pendeta tertawa.
Lho aku kan tidak meminta kau punya kasta,
aku kan hanya meminta air karena dahaga.
Sekarang. kasta katanya sudah tidak ada, semua
manusia sama kewajiban dan haknya.
Semua manusia sama peluangnya, semuanya
berhak menjadi penguasa atau kaya raya,
Tetapi karena realita dunia tidak memungkinkan
ini semua, jadi faktanya tetap saja beda.
Yang lebih parah karena nun jauh di sana di negara
yang kaya raya melimpah hartanya,
Anggapan bahwa TKI dan TKW kita masih seperti
budak belian tetap terus terpelihara.
Lalu apanya yang sama kalau majikan di sana
anggap semua yang bekerja budaknya?
Tetapi seperti judul catatan ini bahwa syukur
tanda suka cita, anjurannya jadi sederhana,
Bersyukurlah karena masih bisa menjadi TKI dan TKW,
budak belian kan cuma labelnya,
Kalian semua warga terhormat ini negara,
pengirim devisa tanda kita makmur sejahtera.
Essi nomor 151 -- POZ05052012 -- 087853451949
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H