Lihat ke Halaman Asli

Tri Budhi Sastrio

Scriptores ad Deum glorificamus

Cerpen Kontemporer: Guru Besar Matematika

Diperbarui: 12 Maret 2021   08:00

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

https://www.murnis.com/tag/bali/page/2/

Guru Besar Matematika
Tri Budhi Sastrio

Antara angka dan realita,
Terkadang sulit dibedakan.
Tetapi manakala angka membawa duka,
Realita pun akan dianggap bencana!
                 

          Dulu pernah dianggap bahwa matematika adalah ilmu para dewa. Artinya, hanya para dewa yang menguasai ilmu ini. Sedangkan manusia hanya menguasai ilmu-ilmu yang lain selain ilmu para dewa ini. Kemudian, pada perkembangan selanjutnya, karena kemurahan dewa penguasa ilmu matematika, seorang manusia bernama Korpa mendapat berkat dan rahmat menguasai ilmu yang luar biasa ini. Tetapi, meskipun Korpa dikaruniai kecerdasan yang luar biasa, tetap saja tidak semua rahasia ilmu ini berhasil diwarisi. Penyebabnya? Karena dewa matematika harus segera  menghadap pimpinan para dewa sebelum dia selesai mewariskan seluruh rahasia ilmu mahaajaib ini. Maka dari itu tidak mengherankan, jika sampai sekarang pun, tidak ada orang yang boleh membanggakan dirinya bahwa dia menguasai ilmu matematika secara tuntas. Selalu ada celah di mana manusia gagal menguasai ilmu mahaajaib ini secara keseluruhan.

          Hanya saja asumsi sederhana ini tidak berlaku bagi Profesor Doktor Kompyang Reda Magister of Science, profesor ahli matematika pertama di perguruan tinggi negeri tertua di Bali. Entah karena temperamennya yang keras dan kaku, entah karena dia memang tidak pernah membaca kisah Korpa, manusia pertama yang menguasai matematika, atau entah karena sebab yang lain, profesor yang satu ini selalu membanggakan kehebatannya dalam bidang ilmu matematika. Dan sejauh ini, apa yang dibanggakannya ternyata memang bukan isapan jempol belaka, Mengapa? Karena sama sekali tidak ada persoalan matematika yang tidak bisa dipecahkan.

Deretan piala, medali, tanda penghargaan, dan bahkan ijazah yang dipajang di ruang tamu rumahnya merupakan bukti penguat bahwa profesor yang satu ini benar-benar jagoan dan ahli matematika. Kolega-koleganya di fakultas tempat dia mengajar, jangan ditanya hormat dan takutnya pada sang profesor. Kata-kata yang diucapkan olehnya tak berbeda jauh dengan sabda para dewa. Disimak, didengarkan, dan kemudian dilaksanakan sepenuh hati. Dekan fakultas MIPA dan ketua jurusan Matematika bak sapi yang dicocok hidungnya ketika berhadapan dengan Profesor Kompyang Reda. Jangankan sampai membantah kata-kata sang profesor, menatap matanya saja ketika mereka saling berbicara, jarang berani dilakukan.

Begitu juga dengan kolega-kolega beliau yang tersebar pada banyak universitas, mulai dari kawasan Indonesia yang paling timur sampai dengan dengan kawasan yang paling barat. Semuanya menaruh hormat pada profesor yang satu ini. Jika kolega sang profesor dalam satu fakultas takut dan segan, pastilah tidak semata-mata karena kepiawaian sang profesor dalam ilmu matematika, melainkan juga karena temperamen sang profesor yang amat sangat mudah marah. Tersinggung sedikit, bentakannya yang sanggup merontokkan debu di langit-langit ruangan, pasti segera menciutkan nyali semua dosen yang notabene sebagian besar adalah mantan murid-murid beliau sendiri. Sedangkan kolega-kolega beliau di universitas yang lain ternyata memang segan karena kehebatannya dalam ilmu matematika.

Sampai di sini sebenarnya tidak ada masalah. Seorang profesor yang benar-benar pandai, apakah dia bertemperamen penyabar ataukah bertemperamen pemberang, pasti akan tetap dihormati dan disegani karena kepandaian dan kepiawaiannya. Begitu juga dengan Prof. Kompyang Reda. Meskipun temperamen pemberangnya seringkali kelewatan, tetap saja dia akan dihormati, jika saja temperamen yang kurang ramah ini tidak dipadukan dengan sikap kurang terpuji lainnya. Sikap tidak terpuji tambahan ini, yang sering dipraktekkan oleh sang profesor pada mahasiswa baru ternyata menjadi bumerang.

Mahasiswa-mahasiswi baru yang baru tiga kali mengikuti kuliah sang profesor mulai merasakan kehebatan sang profesor. Hasil tes pendahuluan kemampuan dasar matematika mahasiswa baru ternyata nol besar. Artinya, dari satu soal yang diberikan oleh sang profesor, tidak seorang pun yang berhasil menjawab dengan benar. Yang merasa menjawab dengan benar, cukup banyak, tetapi yang benar-benar berhasil menjawab dengan benar, ternyata tidak ada. Semuanya mendapat telur bebek, telur bebek yang besar dan bukan hanya itu saja!

Seluruh mahasiswa baru dicuci habis-habisan. Mulai dari semprotan sembrono, tidak becus, pemalas, memandang enteng pelajaran, sampai  dengan predikat bodoh, goblok dan bahkan tolol serta dungu, meluncur mulus dari mulut sang profesor dan mendarat, juga dengan mulus, di telinga para mahasiswa. Semua mahasiswa tertunduk tidak berkutik. Bahkan tiga mahasiswa yang tampangnya bengal bak preman pasar Badung, yang mungkin hanya karena nasib mujur dapat diterima di jurusan matematika, tampak menundukkan kepala. Rambut mereka yang gondrong dan kumal sekali-sekali tampak bergoyang, tetapi tidak lebih dari itu. Semua wajah terbenam dalam-dalam di tengah-tengah semburan kemarahan sang profesor.

"Apa jadinya fakultas ini, apa jadinya negara ini, apa jadinya ilmu yang luar biasa ini, jika orang-orang yang bertekad mempelajarinya ternyata bukan hanya goblok tetapi juga tolol luar biasa. Fakultas ini masa depannya pasti akan sesuram masa depan kalian, negara ini akan semakin tertinggal bersamaan dengan tertinggalnya kepintaran kalian, dan ilmu yang luar biasa ini akan menangis sedih dipelajari oleh sekumpulan orang-orang tolol semacam kalian."

Sang profesor berhenti sejenak. Gaung suaranya yang merontokkan debu di langit-langit ruangan belum juga berhenti, sementara terpaan sinar matanya yang setajam pedang menyapu kepala-kepala tertunduk di depannya.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline