Essi 304 - Selaksa Mantra Buat Sang Guru Bangsa (3)
Episode awalnya mungkin menarik disimak catatan seorang Myrna Ratna,
Wanita baya yang langsung ditelpon sesaat setelah sang kyai mendapat warta
Bukan dari dunia tetapi berita yang konon disampaikan langsung dari surga,
Bahwa suatu ketika sang gus menjadi penguasa yang bertahta di istana negara.
'Mbak, saya akan menjadi presiden,' begitu berita yang disampaikan gembira
Oleh sosok yang dianggap bersahaja oleh hampir seluruh komponen bangsa.
Tiga ratus enam puluh lima hari kemudian berita dari surga ini menjadi realita,
Dan sang guru bangsa melenggang masuk istana mengemban amanat bangsa,
Meskipun tetap banyak orang terkejut tak percaya bagaimana ini semua bisa!
Enam ratus empat puluh dua hari gus Dur bertahta di ibu kota di istana negara
Berbicara lantang di situ, berbicara nyaring di sini, berbicara keras di sana
Menanyakan mengapa negara yang sudah lama sekali merdeka ini tak segera
Berteriak dengan dada membusung kepala tengadah penuh percaya dan bangga
Bahwa apa yang pernah ditatah dalam piagam warga dunia bahwa kita semua
Telah tak lagi hidup hina dan papa, telah tak lagi menyandang karma buta aksara
Memang sudah menyatu dengan realita sehingga pantas dianggap sebagai fakta
Bahwa seluruh kawula di tanah nuswantara memang benar-benar telah berkarma
Gemah ripah loh jinawi. makmur tenteram aman sentosa bahagia dan sejahtera!
Tetapi sejarah juga mencatat, bahkan sampai hari ini pun, wahai guru bangsa
Yang pernah berkuasa sambil menebar senyum ramah dari tahta intan permata
Tak mampu membuat semua yang hina papa menjalani hidup bahagia sejahtera,
Tak semua mereka yang terbelenggu karma buta aksara dapat membaca mantra
Tak semua yang hina papa dapat menatap esok dengan mata tak berkaca-kaca
Tak semua yang tak pintar membaca dapat menikmati warta aksara berita.
Lalu di mana salahnya, wahai guru bangsa, jika engkau yang juga eka cita-cita
Lalu masuk istana negara, lalu membentuk kabinet purna, lalu mulai berkuasa,
Juga gagal membuat semua warga di tanah ini sejahtera dan tak buta aksara?
Mungkin engkau memang tak bisa buat semua orang hidup bahagia sejahtera,
Tetapi engkau tetap boleh dianggap sebagai jendela yang terus menerus terbuka
Sehingga setiap orang yang berada di dalam sangkar dapat jelas melihat dunia.
Tempat pasangan demokrasi dan hak asasi manusia menari ria di lantai dansa.
Pasangan inilah yang terus kau pampang di jendela corong pewarta berita
Sehingga tak hanya mereka yang paham budaya yang dapat tersenyum bahagia
Mereka yang tak paham aksara pun dapat mendengar denting halus sabda dewa
Yang mewartakan bahwa tak boleh lagi ada diskriminasi dalam negeri merdeka
Yang percaya bahwa demokrasi dan hak asasi manusia dua pilar utama negara.
Tri Budhi Sastrio - Essi 304 -- SDA17012012
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H