Essi no. 308 - Membela Kepala Negara Jilid Dua
Tanpa terasa senja demi senja akhirnya berlalu begitu saja,
Kepala Negara keenam pun harus segera serahkan tahta.
Ini adat dunia dan setiap raja bahkan yang paling berkuasa
Pasti tak kuasa menolak apalagi berusaha mengingkarinya.
Tahta segera diserah, tapi tugas untuk negara dan bangsa
Tak harus berhenti begitu saja walau seperti kata bijak kuna
Lengser keprabon madheg pandita tentu ada benarnya juga.
Setelah lama berkuasa, tiba juga masanya menjadi pertapa
Merenungkan tak hanya jasa tapi juga kesalahan dan dosa.
Memang tak ada yang mengharuskan pergi ke hutan rimba
Seperti yang biasa dilakukan para raja jaman dahulu kala.
Raja masa kini bisa duduk tenang bersantai di rumah villa
Menikmati panorama didampingi anak cucu dan istri setia,
Sementara merenungkan jasa serta dosa, jika mau dicoba
Pasti ada manfaatnya apalagi jika diabadikan dengan tinta
Sehingga banyak manusia bisa membaca ambil teladannya.
Sampai di sini semuanya indah mempesona tenang bahagia.
Tapi layaknya adat dunia, yang namanya hujatan pasti ada.
Kadang biasa tidak terlalu menyakitkan kalbu nurani sukma
Tapi pasti banyak juga yang menghunjam ke palungan jiwa
Yang sakit dan pedihnya tak terkira, sepertinya tak ada jasa
Pernah dibuat selama bertahun-tahun kuasa, aduh dewata!
Sebelumnya, dalam Membela Kepala Negara jilid pertama,
Usaha membela dia telah pernah dicoba dengan bertanya
Pada pemuda desa yang konon terdampar tidak ada kerja
Di tengah-tengah kebisingan kota ... sementara alasannya
Karena pemuda desa pastilah lurus serta jujur apa adanya,
Karena toh untuk apa harus berdusta segala jikalau hanya
Ditanya tentang kepala negara yang tengah asyik berkuasa.
Penuh semangat membara, pemuda ditanya pendapatnya,
Dan yang membuat terkejut tak terkira, ternyata jawabnya
Benar-benar tidak terduga ... ada beban berat di keluarga.
Beban berat di keluarga? Beban berat apa? Itulah tanya!
Pemuda desa memang tidak menjawab jelas maksudnya,
Tetapi kemudian disambung dengan gambaran sekenanya
Dari rona wajah kepala negara yang kuyu layu senantiasa,
Yang begini, kata si pemuda desa, pastilah karena karma.
Karma ... yah karma ... itu simpulan si pemuda lugu desa.
Usaha wawancara dihentikan segera ... alih-alih membela,
Jangan-jangan semua aib justru malah dibeber dan dibuka.
Kalau sudah begini jadinya kan bukan membela namanya,
Menelanjangi ya dan ini jelas sekali bukanlah niatan utama.
Jadi dalam Membela Kepala Negara jilid pertama ada karma.
Hukum yang sangat populer ini yang dijadikan alasan utama
Mengapa kepala negara nomer enam milik republik tercinta
Wajahnya kuyu, sorot mata tak cerah, dan tak segar di rona.
Tentu saja ulasan pemuda desa bisa benar bisa salah duga.
Sekarang dalam usaha membela kepala negara jilid kedua,
Karma dicoba untuk disisihkan walaupun hanya sementara.
Asumsi berikutnya ya sederhana saja, SBY banyak jasanya.
Nah, jasa ini jika dikupas dua dua, pasti banyak pahalanya
Yang pantas dikreditkan untuk sang mantan kepala negara.
Pemberantasan korupsi, umpamanya, yang fakta realitanya
Memang pada masa dia KPK mencapai momentum utama
Walau tentu saja harus diakui belum mencapai puncaknya.
Ratusan perompak uang negara sukses diringkus oleh KPK.
Memang banyak juga yang dari partai sang kepala negara,
Tetapi dari partai politik lainnya juga tak kurang pelakunya.
Bahkan jika diamati secara seksama, yah benar luar biasa.
Tak ada partai yang kadernya tak ikut rompak uang negara.
Ada yang hampir semua dan menduduki peringkat pertama,
Tetapi ada juga yang urutannya paling bawah, tapi intinya
Ternyata partai politik menjadi gudang koruptor nusantara.
Mereka yang dipercaya rakyat guna emban amanah utama,
Nyatanya tak jauh berbeda dengan serigala berbulu domba,
Berbaur dengan jubah yang sama, lalu diam-diam berpesta.
Benar-benar tak punya moral etika, merompak dana negara
Dengan dalih guna kepentingan bersama; bersama apanya?
Nah ... dalam bidang ini kepala negara jelas banyak pahala,
Juga karya, juga tindakan nyata, walau tetap ada benarnya
Bagi yang beranggapan bahwa sebenarnya bisa berdansa
Lebih rancak serta lebih perkasa jika saja tidak tersandera
Oleh masalah keluarga, oleh masalah sang putra tercinta.
Bagaimana bisa keras tegas penuh wibawa habisi semua
Jika belahan jiwa, eh ikut terlibat bermain bocorkan dana?
Sementara itu di mata dunia, ini negara Garuda Pancasila
Cemerlang berkilau laksana untaian intan berlian mutiara.
Terus aktif ikut serta berkarya menjaga perdamaian dunia
Membuat SBY dihormati di mana-mana karena perannya
Negara dan bangsa pun ikut terangkat martabat dan citra
Sebagai negara damai penuh cinta, kembangkan budaya
Dan bahasa ke seluruh dunia, dan walau diam-diam saja
Proklamasi Bahasa dikumandangkan cetar membahana
Tepat dari jantung peradaban Eropa oleh seorang warga.
Bersamaan dengan Kongres Bahasa X di ibukota negara
Warga yang terdampar di negara bendera kembar warna
Memberanikan diri menyejajarkan bahasa utama negara
Dengan bahasa dunia, merdeka bangsa merdeka bahasa.
Gaung dan gema proklamasi bahasa kebanggaan utama
Memang masih lirih perbawa, tapi ini kan tahun pertama.
Tahun kedua, proklamasi bahasa akan kembali bergema
Seiring dengan gegap gempita gemuruh di dada pemuda.
Walau beliau tidak lagi inspektur upacara utama di istana
Tetapi penggantinya pasti akan melakukan hal yang sama
Gelorakan semangat juang para pemuda harapan bangsa.
Kepala Negara keenam purna, sejumlah pahala dan dosa
Memang menjadi catatannya, tetapi betapa arif bijaksana
Jika dosa dibungkus rapat-rapat dengan kain sutra pahala
Sehingga citra dan martabat tetap bisa utuh indah terjaga.
Kecuali benar-benar tindakan pidana, ya apa mau dikata.
Silahkan saja, karena semua sebenarnya guna menjaga
Citra martabat dia juga ... pidana itu ada konsekwensinya.
Tri Budhi Sastrio -- Essi 308 -- SDA17092014
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H