Mendaras Laras Kapas-Kapas
Inilah kisah para utusan surga yang turun ke bumi untuk mendaras laras-laras.
Semuanya indah nan penuh harmoni karena memang menyenangkan ini tugas.
Dikisahkan bagaimana mereka turun berbanjar-banjar sambil terus mendaras
Membahanakan nyanyian surga untuk menghibur dan meninabobokan paras
Limas tampan berpadu jelita dalam bingkai mega-mega kapas nan putih kertas.
Kemudian ketika sebagian mulai tertidur pulas sementara senyum menghias
Sudut-sudut bibir wajah tenang nan puas, rentang daras pun semakin meluas
Meretas tak hanya langit dan bumi atas tetapi juga teras relung nurani pemuas
Kereta melintas di tapal batas, sukma jiwa pun meretas ke atas tak kenal tuntas.
Sayangnya itu dulu ketika daras laras kapas-kapas masih waras penuh vitalitas.
Kini tembang yang seharusnya merdu entah mengapa jadi sumbang nadanya,
Bukan karena pemusik atau penyanyi yang tak terampil mengolah nada suara,
Tetapi karena jiwa dan sukma para pendengarnya sedang galau tak terkira-kira.
Bagaimana tidak? Pertikaian ada di mana-mana dan penyebabnya kadang kala
Tak jelas juntrungannya dan masih dalam bingkai yang sama, dendam benci ada
Kadang tanpa sebab dan hanya semata-mata karena merasa lebih agung mulia.
Lalu bagaimana bisa orang yang merasa lebih agung dan mulia eh ... realitanya
Ternyata membenci dendam membabi buta seakan-akan itu perbuatan utama
Yang dianjurkan tidak hanya oleh nurani jiwa dan sukma tetapi juga oleh surga?
Merasa lebih agung dan mulia tentu saja boleh-boleh saja karena hal itu biasa,
Tetapi menjadi sangat luar biasa manakala karena merasa diri lebih agung mulia
Lalu yang lain dianggap nista dan hina dina padahal siapa yang tak seia sekata
Dan sepakat bahwa semua yang ada di dunia adalah ciptaan sang maha kuasa?
Para bijaksana sejak jaman dahulu kala tak hentinya merajut kata-kata nan mulia
Untuk mengingatkan bahwa di bawah alam semesta semua orang bersaudara.
Bahkan seandainya saja manusia punya hak untuk menganggap sesamanya
Lebih nista, lebih hina dan dina, tetap saja perlakuannya haruslah sama serupa.
Simak saja salah satu untaian mutiara yang pernah disampaikan utusan surga
Yang dengan tegas berkata bahwa yang tidak dilakukan pada yang paling hina
Di antara sesama maka itu tidak dilakukan juga pada diriNya yang maha mulia.
Atau dengan kata lain jika perbuatan atas sesama, khususnya untuk mereka
Yang dianggap lebih hina sama sekali tidak berkenan pada yang maha mulia,
Padahal yang maha mulia mengidentikkan dirinya dengan sesama yang hina
Maka dapat dibayangkan apa yang sebenarnya telah dibuat oleh kita semua.
Duh ... yang maha kuasa semoga Engkau terus berkenan melapangkan dada
Memberi ampunan pada kita yang seringkali karena merasa telah beragama
Lalu berpikir dan bahkan bertindak semena-mena pada sesama khususnya
Mereka yang dianggap hina dan nista, padahal mereka adalah jelmaan surga.
Daras laras kapas-kapas bernas nan penuh untaian desah nafas suci pamungkas
Terus membahana mendaraskan tembang suci nan merdu pengiring desah nafas
Tugas suci telah dititahkan, pemahaman nurani pun tumbuh kembang dan bernas,
Jalan terbentang indah mempesona mengiringi derap kaki guna menjalankan tugas
Ah ... semua begitu indah, agung dan laras, lalu mengapa nada sumbang bak upas
Tetap dibiarkan menjadi alas nurani dalam ziarah ke barat agar tugas cepat tuntas.
Dr. Tri Budhi Sastrio – tribudhis@yahoo.com – HP. 087853451949
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H