Di puncak hutan yang lebat dan sunyi,
Enggang jantan terbang menyusuri pagi,
mencari makanan demi istri dan anak,
di sarang tersembunyi, jauh dari gelak.
Namun, hari ini langit tidak ramah,
suara tembakan pecah, riuh, lantah,
Enggang jantan terkulai lemah,
kepalanya, mahal; tubuhnya, punah.
Sementara di sarang yang gelap, dalam,
ibu dan anaknya menunggu dengan diam,
tanpa tahu bahwa harapan mereka telah hilang,
tanpa tahu ayah tak akan pulang.
Hari demi hari, lapar mulai menjalar,
paruh kecil merintih, berharap ajar,
ibu hanya mampu diam dan menanti,
menyisakan nyeri hingga mati.
Oh, Enggang yang anggun, mengapa kau diburu?
Padahal cintamu begitu tulus dan syahdu,
kepalamu mahal, namun hidupmu murah,
hilang dalam gelap di tangan yang buta arah.
Semoga hutan menangis di tiap rinai,
atas hilangnya enggang dan segenap damai,
karena setiap tembakan, setiap luka,
adalah janji sunyi yang terabaikan di dunia.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H