Teluk Balikpapan adalah ekosistem perairan semi-tertutup yang tepat berada di bagian bawah Ibu Kota Nusantara. Ujung-ujung Sungai dari Teluk Balikpapan beberapa di antaranya berujung di wilayah Ibu Kota Negara yang baru ini. Arealnya masih banyak ditemukan hutan mangrove di tepian sungainya, meskipun kini sudah banyak gangguan pada ekosistem esensial tersebut.
Teluk Balikpapan dan ekosistem yang ada di sekitarnya menjadi habitat terbaik bagi berbagai satwa liar, salah satunya adalah buaya muaya atau dalam nama latin disebut dengan Crocodylus porosus. Buaya-buaya ini bukanlah pengunjung baru; mereka telah mendiami perairan ini jauh sebelum industrialisasi, Pembangunan, dan Pembangunan IKN berlangsung.
Buaya muara adalah spesies buaya terbesar di dunia, dengan panjang tubuh yang bisa mencapai lebih dari 5 m. Predator perairan yang tangguh ini bukan hanya penguasa di perairan Teluk Balikpapan, tetapi juga di seluruh ekosistem pesisir dan sungai Kalimantan. Sebagai karnivora utama, mereka memiliki peran penting dalam menjaga keseimbangan ekosistem dengan mengendalikan populasi hewan-hewan kecil, ikan, burung air, bahkan mamalia yang lebih besar seperti monyet dan bekantan.
Namun, habitat buaya di Teluk Balikpapan semakin banyak mendapatkan tantangan yang menyebabkan kualitas perairannya menjadi menurun. Hal itu mengakibatkan potensi pakan alaminya seperti berbagai jenis ikan semakin langka.
Aktivitas pembangunan infrastruktur dan Pembangunan sarana industrialisasi yang pesat dan kurang ramah lingkungan banyak mengganggu ekosistem mangrove dan perairan Teluk Balikpapan. Pembangunan dermaga, industri migas, serta pemukiman di kawasan pesisir juga berperan dalam penyempitan lahan mangrove. Habitat alami yang terganggu membuat buaya sering masuk ke perairan dekat manusia, sehingga meningkatkan risiko konflik.
Kehadiran buaya yang sering terlihat di sekitar dermaga atau muara sungai bukan lagi pemandangan langka bagi warga Balikpapan. Meski sering kali buaya ini tidak langsung mengancam manusia, ketakutan yang ditimbulkan cukup nyata. Banyak warga yang khawatir aktivitas sehari-hari mereka, terutama di sekitar sungai, dapat terganggu atau bahkan berbahaya karena adanya buaya.
Di sisi lain, beberapa kasus serangan buaya terhadap manusia di Teluk Balikpapan dilaporkan meningkat. Hal ini menimbulkan pertanyaan tentang penanganan yang lebih tepat, terutama karena banyak masyarakat yang belum terbiasa hidup berdampingan dengan predator sebesar dan seganas buaya. Peningkatan konflik ini menunjukkan adanya urgensi untuk memikirkan strategi mitigasi yang efektif, termasuk edukasi masyarakat tentang kebiasaan buaya, perilaku buaya, serta bagaimana cara berinteraksi atau menghindari konflik.
Pada banyak kasus, usulan yang sering muncul adalah pemindahan buaya ke tempat yang dianggap lebih aman, jauh dari manusia. Namun, langkah ini bukanlah solusi jangka panjang. Pemindahan buaya ke habitat baru memerlukan proses yang rumit karena buaya muara memiliki insting kembali ke habitat aslinya, terutama ketika masih berada dalam radius jelajah mereka. Selain itu, mencari lokasi yang cocok dengan kondisi ekosistem Teluk Balikpapan juga tidak mudah, mengingat habitat yang sesuai semakin sedikit di Kalimantan.
Buaya di Teluk Balikpapan bukan sekadar predator yang perlu dijauhi, tetapi juga komponen penting dari keanekaragaman hayati wilayah ini. Kehadiran mereka mengingatkan kita tentang pentingnya menjaga ekosistem mangrove yang selama ini menjadi benteng alami sekaligus tempat tinggal mereka. Dengan melindungi kawasan mangrove, kita tidak hanya menjaga habitat buaya tetapi juga mencegah kerusakan lingkungan yang lebih luas.