Lihat ke Halaman Asli

TKI, 21 Miliar

Diperbarui: 24 Juni 2015   00:16

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

TKI, 21 Miliar

Kembali terulang kasus ancaman hukuman mati bagi tenaga kerja Republik Indonesia. Kini dialami oleh Tenaga Kerja Indonesia asal Dusun Mruten Wetan, Desa Kalisidi, Ungaran Barat, Semarang, Jawa Tengah, yang bernama Satinah. Kini Satinah sedang menunggu nasibnya terancam hukuman pancung oleh Pemerintah Arab Saudi karena diduga membunuh majikannya. Pada3 April 2014 Satinah terancam hukuman pancung, yang kini mendesak Presiden SBY untuk segera berbuat.

Direktur Eksekutif Migrant Care menyebutkan bahwa kasus yang menimpa Satinah sebenarnya sudah terjadi sejak 2007. Pada waktu itu Satinah kerap medapatkan siksaan oleh keluarga majikan perempuan, Nura Al Gharib di Provinsi Al Gassem. Satinah terlibat kasus pembunuhan majikannya, yang dipicu adanya beban penganiayaan berikut perlakukan tidak senonoh, baik dari majikan maupun keluarganya secara berulang-ulang. Pembunuhan itu disebutkan terjadi pada tahun 2009. Kronologis pembunuhannya ketika Satinah dan Nura sedang berada di dapur. Nura menganiaya Satinah dengan cara membenturkan kepalanya ke tembok. Bermaksut melawan Satinah pun memukulkan adonan roti ke tengkuk Nura, hingga korban tak sadarkan diri. Nura akhirmya meninggal setelah sempat koma beberapa lama di rumah sakit. Satinah telah dilakukan penahanan di Penjara Gassem. Sementara itu, dalam persidangan syariah tingkat pertama pada 2009 sampai kasasi 2010, Satinah divonis hukuman mati (qishash) atas tuduhan melakukan pembunuhan berencana pada majikan perempuannya.

Serasa pemerintah terlambat dalam menangani kasus yang dialami oleh rakyatnya sendiri di luar negeri. Kini sekarang waktu telah menghimpit bagi Indonesia untuk menyelamatkan warga negaranya yang sedang harap-harap cemas menunggu hukuman matinya. Kini semakin terdesak untuk segera membayar uang diyat yang diminta oleh ahli waris korban senilai 21 Miliar Rupiah. Sebelumnya pemerintah Indonesia telah melakukan penawaran diyat senilai 12 Miliar tetapi ditolak oleh ahli waris korban.

Ini patut dijadikan pelajaran bagi pemerintah Indonesia untuk berpikir dua kali sebelum mengirimkan tenaga kerja ke negara lain yang belum memiliki perjanjian tertulis dengan Indonesia. Oleh karenanya hukum Indonesia akan lemah di negara yang belum membuat perjanjian tertulis. Kasus seperti Satinah pernah terjadi pada Tenaga Kerja Indonesia Darsem yang dulu pernah diselamatkan dengan membayar diyat.

Pemerintah seharusnya telah mengetahui nasib warga negaranya sejak awal kasus ini bergulir, dan pemerintah seharusnya mendampingi Satinah dalam menghadapi upaya hukum di Arab Saudi. Pendampingan ini dimaksutkan agar jalanya penegakan hukum dalam kasus ini memang terang benderang tidak merugikan salah satu negara. Bukan membiyarkan saja kasus itu bergulir, dan ketika sudah diputuskan dan hukuman mati akan dilakukan baru pemerintah sibuk memikirkan penyelamatan warga negara tersebut. Kini tinggal pemerintah membayarkan uang diyat untuk menyelamatkan dari hukuman mati. Nilai yang dimita oleh keluarga korban kini tidaklah sedikit, senilai 21 Miliar Rupiah. Uang sebesar itu semestinya dapat dijadikan untuk pembangunan pendidikan, atau untuk dana kesehatan masyarakat miskin yang akan menyelamatkan banyak orang di negeri ini.

Inilah yang sekarang terjadi karena dinilai beberapa kalangan bahwa pemerintah terlambat dalam menangani kasus yang menghimpit Satinah. Namun bukan hanya salah pemerintah begitu saja, namun juga untuk dapat dipahami oleh para Tenaga Kerja Indonesia yang berada di luar negeri untuk berpikir dua kali siap taat kepada hukum yang ada di negara ia akan manaruh hidupnya sebelummereka benar-benar berangkat dan hidup di negara orang.

Bagi pemerintah sendiri agar lebih bisa melindungi warga negaranya di luar negeri dan kini bisa memikirkan dua kali sebelum mengirimkan tenaga kerja lagi ke negara yang belum memiliki perjanjian kusus.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline