Pada tahun 60'an, seorang sejarawan Perancis begitu mengapresiasi Konferensi Asia-Afrika yang diadakan di Bandung, Indonesia. Begitu kagumnya sang sejarawan ini sampai menuliskan bahwa konferensi internasional pertama yang tidak dihadiri oleh satupun pemimpin dunia Barat itu ibarat le second 14 juillet (peristiwa 14 Juli yang kedua) merujuk pada Revolusi Perancis 14 Juli 1789. Bedanya, konferensi ini punya dampak mondial dan bukan hanya nasional atau regional. Sejak saat itu, menurut sang sejarawan di banyak bangsa Asia-Afrika, bangkit kesadaran akan hak dan martabat mereka yang tidak lebih rendah dari bangsa-bangsa kulit putih.
Pada hari-hari yang "sedang tidak baik-baik" saja ini, simbol-simbol Revolusi Perancis muncul lagi: baik di jalan-jalan saat demonstrasi menolak revisi UU Pilkada, atau juga di media-media sosial. Di Jogja dan Jakarta, misalnya, para demonstran mengarak miniature guillotine (gi-lo-tin), atau foto Presiden Jokowidodo bergaya raja Louis XIV lengkap dengan sebutan l'Etat c'est moi (negaralah aku). Di beragam media pemberitaan nasional , mendadak muncul sejarah keluarga Raja Louis XVI, terutama kisah Sang Ratu, Maria Antoinette. Di laman yang sama, muncul artikel tentang Kesang, putra sulut Presiden, sedang menemani sang istri, Erina, yang akan memulai study S2 nya di Negeri Paman Sam. Artikel tidak mengulas program study apa yang hendak diambil oleh Erina namun dikupas tuntas harga tas yang dipakai, juga roti yang dimakan. Sejarah Maria Antoinette dan Erina berada di laman yang sama. Terang benderang pesan yang mau disampaikan.
Benarkah Erina sama dengan Maria Antoinette yang menikmati croissant sementara mayoritas rakyat Perancis kesulitan mendapatkan sepotong roti keras? Benarkah Jokowidodo seotoriter raja Louis XIV yang dengan bebas mengangkangi hukum untuk kepentingannya sendiri?
Alih-alih memberikan penilaian dan penghakiman (biarlah itu urusan para ahli hukum tata negara dan pakar serta pengamat politik), baik dikutip di sini secuil kisah seorang mantan revolusioner yang bercakap-cakap dengan seorang Uskup (pimpinan lokal Gereja Katolik) dari novel Les Miserables, grand ouvre sastrawan kenamaan Perancis, Victor Hugo:
(Kata mantan revolusioner kepada Uskup): ... saya memilih mengakhiri tirani... yang ingin saya katakan adalah setiap orang punya tirani, yaitu ketidaktahuan. Saya memilih mengakhiri tirani ketidaktahuan itu. Sebab, ketidaktahuan melahirkan kerajaan yang tidak lain dan tidak bukan adalah kekuasaan yang diambil dari kesalahan, sementara pengetahuan adalah otoritas yang diambil dari kebenaran. Manusia sejatinya diperintah oleh pengetahuan... Saya tidak percaya pada hak untuk membunuh sesama manusia; tetapi saya terpanggil untuk mengakhiri kejahatan. Sekali lagi, saya memilih untuk menghabisi tirani. Artinya: akhir dari prostitusi bagi perempuan, dari perbudakan manusia, dari malam derita anak-anak. Saya memilih Republik. Saya memilih persaudaraan, kesepakatan, fajar. Saya telah berjuang menjatuhkan prasangka dan kesalahan. Tumbangnya kesalahan dan prasangka menerbitkan fajar merekah. Kami telah menjatuhkan dunia lama... dan menerbitkan dunia baru penuh sukacita.
Jika simbol-simbol Revolusi Perancis ingin digunakan di hari-hari yang sedang tidak baik-baik saja ini, perlu dan penting mendalami kejiwaan peristiwa penting itu; selain dari sisi sejarah, juga dari sisi sastra. Sepotong adegan dari novel Les Miserables di atas, mungkin dapat membantu: Revolusi Perancis bukan perkara memenggal kepala ratu dan raja, Revolusi Perancis bahkan bukan perkara menumbangkan kekuasaan raja; Revolusi Perancis pertama-tama perkara melawan kebodohan dan ketidaktahuan, melawan penindasan atas rakyat kecil. Sebab apa artinya penguasa lama tumbang jika ketidaktahuan dan kebodohan masih merajai diri? Apa artinya pergantian rezim jika banyak perempuan dan anak-anak yang masih hidup di dalam tindihan sosial dan ekonomi, tidak masuk perhitungan? Jika pembodohan diri masih dibiarkan dan orang lemah kecil masih dinomorsekian, hingar bingar dunia politik berpotensi menjadi kuda Troya, kendaraan bagi petualang-petualang untuk melenggang menikai anak tangga kekuasaan.
Jakarta, 23 Agustus 2024
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H