Lihat ke Halaman Asli

Severus Trianto

Mari membaca agar kita dapat menafsirkan dunia (W. Tukhul)

Laut Diuruk, Naga Terantuk: Grand Corruption di Jejaring Suap Reklamasi Teluk Jakarta

Diperbarui: 12 April 2016   04:05

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Saya sempat berpikir kalau kelompok-kelompok preman di Jakarta adalah gambaran ideal sebuah "negri dalam negri". Di luar pemerintahan resmi dengan perangkat hukumnya, ada kluster-kluster sosial yang punya nyali bikin aturan dan penegak hukumnya sendiri. Bisa dibilang kalau "jalanan" Jakarta ada dalam genggaman sekelompok preman semacam Laskar Jayarta, Forkabi atau FBR yang ketiganya berbagi jatah di pusat-pusat hiburan malam dan bisnis sepanjang Glodok, Gajah Mada dan Hayam Wuruk.

Tapi ternyata, di atas preman jalanan masih ada preman berdasi yang jauh, jauh, jauh lebih sakti. Kaki tangan para preman berdasi ini tidak lagi beroperasi di lorong-lorong jorok, becek dan bau semisal Kalijodo yang baru saja ditertibkan itu atau gang-gang sempit Glodok atau aula sesak berorama ectasy di jejeran diskotek Gajah Mada. Para tetua preman "blue colar" menaruh bidak-bidak mereka di dalam reruang komisi DPRD DKI yang sejuk, harum dan sedap dipandang mata atau di gedung Balai Kota yang asri.

Ada perasaan geli geli gimana gitu ketika membaca salah satu artikel laporan utama TEMPO pekan ini seputar jejaring suap dalam proyek reklamasi teluk Jakarta. Di sana ditulis pengakuan Sanusi ketika diperiksa KPK. Ia berucap kalau pernah DIPANGGIL Aguan (Sugianto Kusuma) ke kantornya. Tutur Sanusi sebagaimana dikutip majalah investigasi itu:"Pak Aguan komplain, kok pekerjaan anak-anak di DPRD enggak beres-beres." (Huruf tebal versi saya sendiri).

Gila, para wakil rakyat Daerah Khusus Ibukota Jakarta, Ibu Kota Negera Republik Indonesia, negara demokrasi ketiga terbesar di dunia, manut alias nurut begitu saja ketika DIPANGGIL seorang pengusaha datang ke kantornya. Mending kalau datang untuk membahas masalah kesejahteraan rakyat DKI yang diwakili; Sanusi datang untuk menerima keluhan, komplain alias dimarahi secara halus. Lebih dari itu, ia dan para wakil rakyat lainnya bahkan sampai disebut anak-anak alias bocah-bocah! Dalam tradisi timur yang kuat norma kekeluargaannya, seorang bocah harus hormat dan tunduk pada kepala keluarga. Maka bisa dibayangkan disposisi Sanusi yang nota bene berpredikat wakil rakyat itu di hadapan Aguan yang menempatkan diri sebagai bapak para wakil rakyat.

Sebagai bocah yang taat, Sanusi pun menggandeng sang kakak, Mohammad Taufik yang sama-sama berstatus wakil rakyat, untuk menemukan cara memuaskan hasrat bisnis sang bapak dan dengan demikian meredam ke-komplain-nannya. Kisah selanjutnya kita sudah tahu: sang kakak merancang skenario agar kontribusi tambahan 15 persen diatur dalam Pergub saja dan di dalam Perda ada klausal kontribusi sekurangnya 5 persen. Klausal terakhir ini yang ditanggapi oleh Ahok dengan tinta hitam: Gila!

Siapa dan bagaimana peran sulur sang bos berjuluk "naga no.1" di gedung Balai Kota, masih belum begitu kentara. Apakah Sunny Tanuwidjaja sungguh-sungguh berperan sebagai "agen resmi" Aguan di kantor DKI 1 masih perlu penelisikan lebih lanjut. Yang pasti, seturut pengakuan Sunny sendiri, ia sudah berbicara kepada Ahok perihal keberatan Agung Podomoro pada angka kontribusi 15 persen. Jangan lupa: Sunny lulusan CSIS dan lembaga kajian sosial ini bukannya tanpa pendirian politik. Ia sebaris dan sebangun dengan Golongan Karya dan Orde Baru. Sofjan Wanandi, salah satu founding fathers CSIS dan Sunny pernah mengajukan keberatan kepada Ahok soal kenaikan upah buruh. Ahok, menurut detik.com, sampai menggebrak meja menentang keberatan mereka dan mengancam Sunny untuk tidak mengatur kebijaksanannya. Jadi, paling tidak, disposisi Sunny tampaknya lebih condong ke kepentingan pengusaha.

Kembali ke tetua preman kelas kakap. Kedigdayaan sang naga no.1 sampai diterima statusnya sebagai bapak para wakil rakyat tidak jatuh dari langit. Jangankan para wakil rakyat. Pengusaha sekaliber Tomy Winata yang dekat dengan para jendral POLRI dan TNI saja sampai menaruh hormat pada Aguan dan menyapanya sebagai sang senior yang wajib dimintai pendapatnya perihal keputusan-keputusan penting. Kita tahu sepak terjang Tomy Winata, pemilik Bank Artha Graha (bersama Aguan) yang nota bene jadi pengelola keuangan Yayasan Kartika Eka Paksi milik angkatan darat. Damien Kingsbury menjulukinya sebagai donatur para jendral di tubuh TNI dan POLRI. Maka bisa dibayangkan kekuasaan sang naga no.1 ini.

Penguasa inilah yang saat ini mungkin sedang dihadapi Gubernur DKI Jakarta. Kata mungkin perlu diberi garis miring mengingat masih abu-abunya kasus jejaring suap reklamasi teluk Jakarta ini. Apakah Gubernur DKI sampai berani mati berkonfrontasi langsung dengan the Godfather, Aguan? Tidak takutkah dia membuat ngamuk sang naga yang tersandung tanah urukan di teluk Jakarta? Kalau sampai menyeret Sugianto Kusuma, kasus ini akan jauh lebih besar dari perkara kejahatan para preman jalanan. 

Ville de Lumière, Selasa Subuh 12 April 2016

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline