Benarkah "Teman Ahok" mendeparpolisasi partai-partai politik dalam pilkada DKI 2017 seperti yang dituduhkan kubu banteng merah bermoncong putih? Atau sebenarnya, partai-partai politiklah yang mengebiri kekuatan ideologis mereka sendiri sehingga di mata rakyat mereka tidak lebih dari sekedar mesin wacana politik dan bukan alat penyadaran atau agen demokratisasi?
Tuduhan deparpolisasi yang dialamatkan PDIP pada para penyokong Ahok lewat jalur mandiri mendapat pembenarannya lewat klaim bahwa partai-partai politiklah yang melahirkan Indonesia dan bukan gerakan tanpa bentuk para relawan.
Peran penting partai-partai politik dalam pergerakan nasional sampai pada proklamasi RI memang tidak bisa dibantah. Berdirinya perkumpulan-perkumpulan semisal Boedi Oetama atau Syarikat Islam membuka babak baru perjuangan bangsa Indonesia meraih kemerdekaan. Siapa dapat menyangkal peran PNI dalam menumbuhkan kesadaran hukum, politik dan nasionalisme ke dalam diri kaum muda yang sudah berani menyebut diri pemuda Indonesia dan bukan lagi kaum Hindia Belanda?
Justru partai-partai politik yang sekarang harus bercermin pada sejarah pergerakan nasional. Tujuan partai-partai politik masa pergerakan adalah kemerdekaan. Jalan yang mereka tempuh pertama-tama adalah pendidikan untuk membuka kesasaran, lalu juga advokasi hukum untuk membela saudara sebangsa di depan sistem hukum kolonial, tak luput aksi masa serupa aksi mogok atau rapat raksasa, dan juga jalur ekonomi untuk melahirkan kemandirian. Sejarah pergerakan nasional dikisahkan secara apik lewat tetralogi Pramoedya.
Bak langit dan bumi, demikianlah kenyataan partai-partai politik masa pergerakan nasional dan partai-partai politik saat ini.
Ideologi apa yang dipegang partai-partai politik Indonesia saat ini? Ideologi adalah gambaran sosial yang menggerakkan suatu tindakan bersama. Ideologi memberi identitas pada suatu kelompom sosial. Gambaran kejayaan Majapahit dan Sriwijaya, misalnya, menjadi kendaraan ideologis para pendiri bangsa untuk memberi identitas pemersatu suatu bangsa yang akan lahir. Tetapi, partai-partai politik saat ini masih berideologikah? Sementara ahli memetakan wilayah ideologis para partai menurut kategori Islam, Sekuler Barat, Elitis dan Populis.
Tetapi apa yang terjadi adalah sekat-sekat ideologis tadi tak berfungsi selama pemilu atau pilkada. Partai-partai Islam garis keras seperti PKS mengenyampingkan ideologi mereka untuk berembuk bareng partai sekular -populis PDIP demi memenangkan pilkada di Purbalingga, Sumenep dan Kota Dumai (2005-2006). Sebagian orang mengira lenturnya sekat ideologis ini sebagai tanda rasionalisasi partai-partai politik yang lebih mengutamakan program daripada aliran. Tapi kenyataannya, pragmatisme politiklah, dalam wujud keuntungan materi dan kepentingan sesaat, yang lebih dominan.
Keuntungan materi menjadi kental ketika dalam kenyataannya partai politik lebih menjual tiket kepada para calon kepala daerah daripada membina kader-kader mereka. Partai politik menjual letigimasi pencalonan kepada seseorang di luar partai agar yang bersangkutan bisa maju dalam pilkada. Ada transaksi milyaran rupiah di sana ketika seorang calon kepala daerah membeli tiket bus poltik supaya bisa maju. Jadi dalam prakteknya, partai-partai politik saat ini justru telah menerapkan permainan jalur independent dalam arti calon yang mereka ajukan bukanlah kader partai dari akar rumput tetapi tokoh yang bisa beli tiket.
Tercabutnya partai politik dari akar rumput tercermin lewat sentralisasi dalam tubuh internal partai-partai politik itu sendiri. Mengapa, misalnya, kader-kader partai setempat tidak dibina untuk dewasa dan mendapat hati di mata massa lokal hingga partai harus mengimport kader dari wilayah lainnya? Apa yang kurang dari kader PDIP di Jakarta hingga kepala daerah dari Solo atau Surabaya atau Jawa Tengah yang mesti digadang jadi calon gubernur Jakarta?
Dengan kata lain, tuduhan deparpolisasi dan liberalisme lebih tepat dialamatkan ke partai-partai politik itu sendiri. Rendahnya angka partisipasi dalam pilkada kali lalu menyiratkan turunnya kepercayaan masyarakat pada partai-partai politik. Jadi jangan salahkan jalur mandiri. Ini jadi kesempatan perbaiki diri sendiri.