Lihat ke Halaman Asli

Severus Trianto

Mari membaca agar kita dapat menafsirkan dunia (W. Tukhul)

Jangan Rendahkan Puisi!

Diperbarui: 23 Juni 2015   23:29

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bahasa. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Jcstudio

Setiap orang berhak membuat puisi: dari politikus sampai sopir bus, semuanya tidak dikenai larangan untuk berpuisi. Tetapi, seperti kata pepatah Perancis l'habit ne fait pas le moine (jubah tidak membuat seseorang jadi biarawan), tidak semua yang bisa bikin puisi bisa digelari penyair; pun tidak semua puisi menyandang misi pencerahan, mengasah kesadaran, membongkar penindasan dan merayakan kemanusiaan. Pertanyaannya: netralkah puisi? Apakah orang dapat menggunakan puisi demi tujuan, kepentingan dan seleranya sendiri-sendiri? Mengapa puisi dan proses penciptaannya mesti dihargai?

Sebab puisi adalah 'rumah kata-kata.' Dalam puisi, kata-kata merasa nyaman sebagai dirinya sendiri. Inilah yang dilakukan Presiden Penyair Indonesia, Sutardji Calzoum Bachri ketika menulis puisi: menulis puisi bagi saya adalah membebaskan kata-kata, yang berarti mengembalikan kata pada awal mulanya. Pada mulanya adalah kata. Mengapa kata-kata perlu dibebaskan? Karena kata-kata seringkali diperlakukan sebagai pesuruh untuk menyampaikan pengertian. Kata-kata diperbudak, diperalat, diperjualbelikan demi kepentingan dan tujuan tertentu. Perbudakan dan pelacuran kata-kata itu meningkat intensitasnya di tahun politik ini. Pelacuran kata adalah pelacuran kesadaran sebab Kata adalah kesadaran itu sendiri, pengertian itu sendiri; tidak ada proses berpikir yang tidak melibatkan Kata; mengutip Chairil Anwar, kita sedang berada dalam masa mendurhaka pada Kata. Kita lupa bahwa Kata adalah yang menjalar, mengurat, hidup dari masa ke masa, terisi padu dengan penghargaan, Mimpi, Pengharapan, Cinta dan Dendam manusia. Kata adalah Kebenaran!

Maka, proses berpuisi yang sejati adalah sebentuk perjuangan, sebagaimana dinyatakan Chairil: kita mesti menimbang, memilih, mengupas dan kadang-kadang sama sekali membuang. Baru mengumpul-satukan! Itu mesti dibuat untuk membebaskan Kata, yang berarti juga membebaskan kesadaran. Puisi dan proses berpuisi mesti dihargai sebagai perayaan kesadaran dan kehidupan.

Sebab puisi adalah buah prima kebudayaan. Demikianlah yang diungkapkan Sutardji dalam pidato kebudayaannya di Teater Kecil, Taman Ismail Marzuki tahun lalu. Jika seorang Chairil Anwar dapat mengungkapkan kekayaan rohaninya melalui pola perpuisian Barat, maka budaya Barat yang menjadi pohon bagi gaya perpuisian itu memang hebat. Sebaliknya, ketika terjemahan sajak-sajak Rendra dalam Empat Kumpulan Sajak tetap mampu mewakili warna-warni pengalaman hidup seseorang dari lapisan mana saja dengan keindahan ungkapannya, hal itu menandakan hebatnya budaya Indonesia yang menjadi pohon bagi persajakan Sang Burung Merak. Maka, relakah kita membiarkan buah prima kebudayaan ini dipetik-paksakan dan kemudian dilemparkan untuk pakan hewan-hewan politik?

Sebab Indonesia dibangun dan dibarui oleh puisi. Ini bukan 'pepesan kosong.' Ini yang dikatakan Presiden Penyair, Sutardji, tahun lalu. Indonesia dibangun oleh puisi. Mengapa? Sebab 'Sumpah Pemuda' adalah sebentuk puisi, yang rumusannya pun ditulis oleh seorang penyair, Muhammad Yamin. Dalam Sumpah Pemuda, mengalir imajinasi tentang tanah Indonesia, bangsa Indonesia dan bahasa Indonesia. Mengapa imajinasi? Karena pada saat itu, semuanya belum ada: belum ada tanah Indonesia, yang ada adalah Nederlandsch-Indie; belum ada bangsa Indonesia, yang ada adalah beragam suku-bangsa seperti Jong Ambon, Batak, Sunda, Jawa, dll; dan belum ada bahasa Indonesia, yang ada adalah bahasa Melayu sebagai bahasa perdagangan. Jadi, Sumpah Pemuda 'berimajinasi' tentang Indonesia, dan imajinasi adalah urat nadi setiap puisi; maka Sumpah Pemuda adalah sebuah puisi. Puisi tidak saja membangun tetapi juga membaharui, me-reformasi, negeri dan bangsa ini. Siapa dapat membantah kenyataan bahwa syair lagu Bongkar adalah sebentuk warta kenabian bagi lahirnya era reformasi: ternyata kita harus ke jalan/robohkan setan yang berdiri mengangkang...? Siapa dapat menolak kekuatan transformatif sebuah puisi dalam kata-kata Wiji Thukul: apabila usul ditolak/suara dibungkam/kritik dilarang tanpa alasan/dituduh subversif dan mengganggu keamanan/maka hanya ada satu kata: LAWAN! .....?

Jadi, jangan rendahkan puisi sebagai alat politik-kekuasaan sebab bangsa dan negara ini juga berdiri dan membarui diri, berkat puisi!

Ville de Lumière, Sabtu pagi 19 April 2014



Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline