Lihat ke Halaman Asli

Severus Trianto

Mari membaca agar kita dapat menafsirkan dunia (W. Tukhul)

Figur Demokratis antara Prabowo dan Jokowi

Diperbarui: 18 Juni 2015   05:24

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Memang beda, mau bilang apa lagi.

Malam ini menyaksikan siaran TV One tentang kembalinya Presiden terpilih, Joko Widodo ke Balai Kota Jakarta. Seperti biasa, "Presiden blusukan" ini disemuti wartawan tanpa pengawalan, nyaris tanpa jarak. Tidak terasa guratan luka usai masa kampanye, walau jelas beberapa awak media datang dari pihak yang tidak saja berseberangan tetapi juga sempat mengudarakan berita fitnah tentang dirinya.

Dari wajah penuh senyum itu, nyaris tak terbayangkan kata-kata "brengsek" keluar dari mulutnya, walaupun beberapa awak media datang dari salah satu kantor berita yang sempat menyebarkan fitnahan "PKI" kepada partai utama pengusung pria kurus asal Solo ini.

Semua pertanyaan dijawab tanpa membedakan siapa dan dari mana awak media yang mengajukan pertanyaan. Semua ditanggapi dengan sopan, sederhana dan apa adanya. Beberapa pewarta terpancing untuk tertawa ketika dua kali terlontar jawaban singkat, "masih," ketika ditanya apakah sebagai Presiden akan tetap "blusukan."

Semua pewarta disambutnya, semua bisa mendekatinya, semua bisa mengajukan pertanyaan padanya, semuanya. Tidak dibedakan wartawan ini dari kantor berita A, awak media ini dari stasiun tv B. Tidak ada prasangkan bahwa kantor berita C akan memelintir ucapannya, tidak ada pikiran buruk kalau stasiun tv D tidak akan menyiarkan pernyataannya. Tidak ada pengawal pribadi yang menyeleksi wartawan yang hendak mendekati, tidak ada "black list" untuk kantor berita dan awak media.

Rasanya, dari Figur semacam ini, roda demokrasi lebih mulus putarannya. Dari figur semacam ini, perbedaan disambut sebagai kekayaan dan bukan ancaman. Dari figur semacam ini, rasanya dapat muncul beragam penyelesaian masalah bangsa tanpa harus melahirkan masalah baru. Kalau suara pewarta diseleksi menurut kehendak hati, kalau surat kabar dimaki karena memilih secara sadar untuk beroposisi, kalau semua yang bisa mendekat adalah mereka yang disukai, sebuah nisan siap dipasang dengan tulisan: R.I.P Demokrasi.

Memang beda, mau apa lagi.

Ville de Lumière, Rabu malam 23 Juli 2014




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline