Lihat ke Halaman Asli

Severus Trianto

Mari membaca agar kita dapat menafsirkan dunia (W. Tukhul)

Pilatus

Diperbarui: 17 Juni 2015   23:13

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

14118529181167318778

[caption id="attachment_325964" align="aligncenter" width="700" caption="Sumber: http://en.wikipedia.org/wiki/Pontius_Pilate"][/caption]

Alkisah, menurut sebuah legenda yang terangkum dalam Mors Pilati (Wafatnya Pilatus), jenazah Pilatus dibuang ke sungai Tiber. Begitu jasadnya menyentuh air sungai, berkecamuklah gelombang dasyat; pertanda bahwa sungai yang membelah Kota Abadi itu enggan menerimanya. Setelah digulung gelombang sungai, akhirnya jasad itu pun terhempas di pinggiran sungai Rhone, di kota Vienna. Pada tempat di mana jenazah itu mendarat, didirikanlah sebuah monumen yang dikenal sebagai Makam Pilatus yang masih dapat dilihat sampai sekarang.

Tapi, jasad itu pun tak berdiam lama di sana. Seperti yang telah terjadi di Roma, alam kembali menolak untuk menjadi tempat persinggahan jenazah malang milik sang Gubernur Militer Kekaisaran Roma untuk wilayah Yudea itu. Sungai Rhone pun berkecamuk dan dengan gelombang dasyatnya menjauhkan jasad itu dari kota Vienna sampai ke Lucerne di Swiss. Di sana, jenazah malang itu dilempar  ke atas sebuah gunung sampai akhirnya tenggelam di dalam danau di ketinggian gunung tersebut. Sampai sekarang, gunung itu dikenal sebagai gunung Pilatus. Menurut legenda, di setiap Jumat Agung, Pilatus hidup lagi, keluar dari dalam danau dan membasuh tangannya; sama seperti yang dulu ia lakukan ketika mengadili seorang guru dan pembuat mukjijat bernama Yesus dari Nazaret.

Sebagai legenda, Mors Pilati bukanlah sebuah kejadian sejarah. Namun demikian, setiap kisah yang baik, seperti pernah ditulis Aristoteles, mengajarkan sesuatu kepada kita karena ia menyibak semesta kemanusiaan. Mors Pilati mengajarkan kepada kita satu hal: waktu adalah hakim yang kejam. Kesalahan yang pernah kita buat akan tersimpan selamanya di masa lalu tanpa dapat lagi diubah atau dihapus karena sekarang ia berada di tangan sang waktu dan siapa dapat melawan waktu? Pilatus selamanya akan dikenang sebagai "pemimpin yang lari dari tanggung jawab." Mungkin ia adalah suami yang baik dari Claudia, atau kesatria berkuda (equestrian) yang tangguh di medan laga. Akan tetapi, semua itu lenyap karena satu kesalahan fatal, ibarat pepatah "karena nila setitik rusak susu sebelanga." Kesalahan fatal Pilatus yang terpatri dalam-dalam di relung waktu adalah keengganannya untuk menyatakan yang benar sebagai benar dan yang salah sebagai salah, padahal ia punya kuasa untuk menentukannya.

Tetapi bagaimana seorang pemimpin dapat berpihak pada kebenaran kalau hidupnya dinahkodai oleh kepentingan praktis? Ketika mendengar Yesus berkata "kebenaran," Pilatus balik bertanya kepadaNya, "Apa itu kebenaran?" Penyair Libanon, Kahlil Gibran, menulis momen pengadilan ini dengan indahnya. Tulisnya, " Aku (Pilatus) duduk di tahta pengadilan dan Ia berjalan ke arahku dengan langkah-langkah yang tegas dan pasti; kemudian Ia berdiri tegap dengan kepala tegak. Aku tak tahu apa yang berkecamuk di  relung batinku pada saat itu; tiba-tiba terbit keinginan untuk turun dari tahta pengadilan dan sujud di hadapanNya. Aku merasa seolah-olah Kaisar sendiri yang masuk ke ruang pengadilan, seseorang yang jauh lebih besar dari Roma sendiri. ... Mestinya kudapat menyelamatkannya dengan kuasa yang ada tanganku; tetapi membebaskan orang tak bersalah ini berarti melepaskan amarah para pemimpin agama dan itu artinya revolusi... apa yang kuputuskan bukanlah kehendakku sendiri, tetapi demi kepentingan Roma."

Berdalih bahwa apa yang dibuat semata demi menjalankan tugas ternyata sudah terjadi sejak dua ribu tahun yang lalu. Dengan mencuci tangan dan menggiring orang yang tak bersalah untuk dihukum mati, Pilatus memang berhasil meredam pemberontakan untuk sementara waktu. Bukan hanya itu, dengan cuci tangan  Pilatus dapat pula menenangkan hatinya sendiri dari rasa salah. Toh semuanya dilakukan demi tugas.

Dalih yang sama diulangi dua ribu tahun kemudian, di sebuah sidang pengadilan di Yerusalem. Perwira tinggi Nazi, Eichmann menyangkal semua tuduhan bahwa ia membunuh enam juta orang Yahudi. "Saya hanya menjalankan perintah atasan. Dan saya tidak membunuh mereka; saya hanya memasukkan mereka ke dalam kereta api dan mengirim mereka ke kamp-kamp konsentrasi." Hannah Arendt, filsof Yahudi yang tinggal di Amerika, mencatat,"Para pembunuh keji bukanlah monster. Mereka adalah orang-orang menyangkal untuk bertanggung jawab dengan alasan sekedar menjalankan tugas. Mereka adalah orang-orang yang enggan menggunakan nalar mereka sendiri."

Demikianlah, para pemimpin yang bermain sandiwara demi menyelamatkan muka dan dirinya sendiri akan dicatat oleh waktu sebagai "Pilatus-pilatus baru." Sampai kapanpun, mereka akan dikenang sebagai para pemimpin yang "cuci tangan" untuk mengelak dari tanggung jawab, menolak untuk menggunakan nalar dan nurani sendiri. Sepotong syair yang dinyanyikan tokoh Pilatus dalam drama musikal Jesus Christ Superstar kiranya cocok untuk menggambarkannya. Ketika menceritakan mimpinya pada malam sebelum pengadilan, tokoh Pilatus dalam drama musikal itu berkisah, "...then I saw, thousands of millions crying for this man. And then I heard them mentioning my name and leaving me a blame."

Semoga, kita semakin cerdas untuk belajar dari kisah Pilatus: ke dapannya menolak tegas untuk memilih para pemimpin yang terbukti saat ini suka lari dari tanggung jawab dan menggunakan kekuasaan untuk cari kesempatan demi perut dan muka sendiri.

Ville de Lumière, Minggu Subuh 28 September 2014

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline