Lihat ke Halaman Asli

Severus Trianto

Mari membaca agar kita dapat menafsirkan dunia (W. Tukhul)

Waringin Tua dan Burung Elang

Diperbarui: 17 Juni 2015   17:51

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

[v] ke.su.rup.an v kemasukan (setan, roh) sehingga bertindak yg aneh-aneh (Kamus Besar Bahasa Indonesia)

Luputa bilahi kabeh

Jin setan datan purun

Paneluhan datan ana wani

Gunaning wong luput

(Terj.: luputlah segala marabencan/jin setan takkan mengganggu/teluh takkan mengena/guna-guna tak berdaya)

(Kidung Penjaga Malam banyumasan)*

...

Dulu, di kampungku tumbuh sebatang pohon waringin tua. Saya tidak tahu berapa usianya. Kata bapakku, ia sudah ada di sana sebelum kampung kami ada. Penampakkannya tidak seperti pohon waringin yang dikenal lewat banyak foto atau gambar. Umumnya, citra pohon waringin adalah sebuah pohon berbadan kekar, dengan juntaian akar nafas yang bergantung rapi berjejeran satu sama lainnya. Rimbun dedaunannya yang bersatu membentuk 'payung hijau raksasa' tempat para musafir berteduh kala terik musim panas berdaulat.

Tetapi, tidak. Waringin tua di kampungku bukan seperti itu. Ranting-ranting tempat dedaunannya bergantung tidak bergerombol menyatu melainkan terserak ke segala arah. Tatkala surya mencapai puncaknya, leretan sinarnya akan merobek, menerobos dedaunan waringin itu.  Sia-sialah para musafir mencari tempat berteduh mana kala terik menyengat. Hanya kekekaran batang dan akar-akar nafasnya yang menggelembung menghujam tanahlah yang menunjukkan bahwa ia adalah sebuah waringin; waringin tanpa mahkota.

Seperti sudah kukatakan, tidak banyak orang duduk-duduk santai di bawahnya. Bukan hanya karena waringin berpenampakan 'aneh' itu tidak memberi keteduhan, tetapi lebih karena semua penduduk kampung takut berada di dekatnya, terutama kalau malam tiba.

Saat senja datang, daerah sekitar pohon waringin mendadak sepi. Dalam waktu-waktu seperti itu, orang-orang cenderung menghindar lewat di dekatnya. Banyak yang mengatakan, ketika surya menyentuh bibir ufuk barat, suatu daya gaib keluar dari tanah tempat akar-akar nafasnya menusuk bumi. Daya kasat mata itu kemudian menyebar merayapi tanah berilalang dan bersemak bambu di sekitarnya. Aura angker seperti inilah yang membuat penduduk kampungku enggan melintasi daerah sekitaran waringin itu tatkala malam menjelang.

Bahkan mereka yang bukan dari kampung kami pun mengakui kalau bulu tenguk mereka tiba-tiba meregang dan jentik-jentik keringat dingin bermunculan di telapak tangan, begitu mereka melintas tak berapa jauh dari waringin itu di kala senja. Semuanya punya gambaran yang sama: jauh di kedalaman batin masing-masing, mereka seperti mendengar sebuah jeritan menyayat. Jeritan yang hanya dapat keluar dari mahluk dari alam seberang...

...

Seperti lazimnya para penduduk lainnya, akupun ikut-ikutan menghindari tempat itu kalau senja datang. Sempat akal kritisku mengugat kebiasaan kampungku yang terlalu percaya pada tahayul seperti itu. Dunia adalah panggung manusia berkarya. Kepercayaan pada dunia gaib adalah sisa-sisa ketakutan primitif ketika manusia masih tunduk pada kekuatan alam. Ketika manusia mampu mengendalikan dan mengeksploitasi alam, kabut tahayul harus disingkirkan dengan terang kesadaran. Begitu keyakinanku.

Tetapi, dua kejadian menggoyahkan keyakinanku ini. Dua peristiwa yang membuatku mempertanyakan kemampuan akal kritisku untuk menjelaskan semuanya. Dua peristiwa yang membuka mata batinku akan hadirnya sebuah kenyataan lain yang pararel dengan kenyataan keseharian yang biasa kukenal....

Peristiwa pertama terjadi di suatu Kamis malam. Pukul sebelas malam, aku, om Baskara dan istrinya sibuk menurunkan peralatan dapur dari mobil kijang tua milik pak Lurah. Kami baru saja selesai rapat bersama para pengurus karang taruna di kantor Lurah untuk persiapan acara tujuh belasan. Sudah jadi kebiasaan karang taruna kampung kami untuk mengadakan rapat malam hari dan menutupnya dengan makan malam bersama. Karena aku adalah salah satu pengurus karang taruna dan om Baskoro salah satu penasehatnya, Mei Fung, istrinyalah yang berjibaku menyiapkan santapan malam ala kadarnya untuk sekitar belasan orang.

Ya, dari mobil kijang tua pinjaman pak Lurah, kukeluarkan perlengkapan memasak milik Mei Fung: baskom, panci, penggorengan besar, kompor gas beserta tabungnya. Bunyi peralatan dapur beradu memecah kebisuan malam. Para tetangga sudah banyak yang memadamkan lampu dalam rumah. Tinggal lampu yang menggantung di atas teras rumah yang dibiarkan menyala.

Rumah pasangan ini adalah salah satu rumah yang terletak di pinggir kampung. Beberapa ratus meter lagi, di balik rimbunnya semak bambu, akan  dapat dijumpai waringin terkenal itu. Tidak ada yang istimewa di malam jumat itu. Aku sendiri tidak merasakan takut atau apa karena toh pohon waringin itu tersembunyi dari pandangan.

Di tengah kesibukanku menurunkan perangkat dapur itu, sekilas kulihat sosok perempuan muda berjalan tak acuh masuk ke dalam rumah pasangan Baskoro-Mei Fung. Baskoro dan istrinya yang sedang memunggungi halaman rumah mereka tidak melihat peristiwa itu. Sambil mengoper panci besar dari dalam mobil, kubertanya polos pada om Baskoro, "Om, mbok ya pembantu baru kalian itu ikut beres-beres. Masak maen nyelonong masuk rumah begitu saja."

Om Baskoro dan Mei Fung berhenti bergerak. Sementara masih memegang panci, om Baskoro menatap mataku dan pelan berkata, "Pembantu yang mana?"

Mei Fung merapat ke tubuh suaminya.

"Loh, terus siapa perempuan muda yang barusan masuk rumah kalian tadi?"

"Perempuan muda apa... Kami cuma berdua di rumah ini...Jangan bercanda kamu. Ini malam jumat loh."

Sejurus penejelasan om Baskoro, darahku seakan berhenti. Kuhentikan pembelaanku tentang apa yang barusan kulihat. Aku tidak tega membuat pasangan suami-istri muda ini ketakutan. Tetapi, aku tidak dapat menyangkal apa yang kulihat tadi. Otakku mulai mengingat-ingat bagaimana kejadian itu berlangsung dan memang ada yang aneh di sana. Pertama, perempuan berkulit putih dengan rambut hitam panjang tergerai itu mengenakan kebaya hijau: perempuan muda mana yang berkebaya malam-malam begini. Kedua, cara perempuan itu bergerak; ia seolah tidak melangkah tetapi meluncur masuk ke dalam rumah om Baskoro.

"Dari arah mana dia datang?" Tanya om Baskoro begitu semua barang dalam mobil selesai kuturunkan.

Pertanyaan itu tidak kujawab. Aku pura-pura tidak mendengarnya sambil terus bekerja. Ketika menapaki pekarangan rumah om Baskoro, dengan sebuah tabung gas di tangan, kusempatkan menoleh ke arah semak bambu dari mana perempuan tadi datang.... dari balik semak itulah kulihat ia meluncur masuk lewat pekarangan ini!

Peristiwa kedua terjadi seminggu kemudian, pada jam yang sama. Pada malam itu, keheningan malam pinggir kampungku dipecahkan oleh teriakan Mei Fung dari dalam rumah. Menurut para tetangga, teriakan yang pecah tiba-tiba itu disusul kegaduhan lain. Para tetangga yang belum lagi pulas pun bermunculan dari balik pintu rumah masing-masing. Tak berapa lama, om Baskoro keluar dengan wajah penuh ketakutan sambil berteriak, “Panggil mbah Karyo!”

Mbah Karyo adalah sesepuh desa, semacam otoritas non formal yang sering didatangi pak RT, pak RW atau pak Lurah sekalipun demi mendapatkan nasehat dan petunjuknya. Semua penduduk kampung mengakui kehebatan mbah Karyo bukan cuma dalam memberi nasehat tetapi juga dalam menyembuhkan penyakit. Jeritan om Baskoro menyelipkan harapan bahwa mbah Karyo pun mampu menyembuhkan istrinya dari ‘sakit’ yang satu ini.

Untuk mempersingkat cerita, kusampaikan saja apa yang kulihat sendiri atas diri Mei Fung. Di malam itu, aku dapat berada dekat dengan Mei Fung untuk membantu om Baskoro memegang tangan istrinya sementara mbah Karyo sibuk melontarkan kata-kata yang tak kudengar. Hanya bibirnya yang bergerak cepat. Malam itu, Mei Fung tampil bukan seperti perempuan yang selama ini kukenal. Rambutnya yang hitam dan panjang merebak berantakan. Nafasnya cepat menderu seiring dengan dadanya yang bergerak naik turun. Yang paling kuingat adalah matanya. Kedua mata yang terbuka lebar-lebar itu hanya tampak bagian putihnya. Mulutnya menganga dan dari sana keluar suara terengah-engah. Piyamanya basah oleh keringat.

Tiba-tiba mbah Karyo meletakkan telapak tangannya ke jidat Mei Fung. Dan seiring dengan itu, Mei Fung meronta sambil berteriak. Kuperkuat cengkeramanku atas pergelangan tangan kiri Mei Fung. Di ujung teriakan, Mei Fung menunduk, seperti hendak memuntahkan sesuatu. Tak ada yang keluar dari mulutnya yang menganga ke arah lantai. Hanya bau teramat busuk yang tiba-tiba merebak. Bau bangkai busuk yang menusuk. Setelah itu, Mei Fung menjadi tenang. Badannya menjadi hangat lagi. Sejurus dengan itu, ia berkata, “Mas, aku haus…”

Itu terjadi beberapa tahun yang lalu. Sejak kejadian malam itu, om Baskoro dan Mei Fung meninggalkan rumah itu.  Mereka pindah ke tempat lain.

Tidak berapa lama, suatu pembangunan besar-besaran mengambil tempat di bekas kediaman keluarga muda itu. Dalam waktu beberapa bulan, berdiri sebuah villa megah di pinggir kampungku. Tidak nampak lagi bekas kediaman om Baskoro dan Mei Fung. Tidak ada lagi padang ilalang dan semak bambu. Dan, tidak ada lagi waringin angker itu. Semuanya disulap menjadi sebuah villa megah berlantai tiga , dilindungi tembok kawat berduri setinggi tiga meter yang mengelilinginya. Seiring perubahan itu, lenyap pula legenda angker pohon waringin. Yang terdengar kini hanya seraknya suara burung elang yang datang dari peranginan di lantai paling atas. Kata orang, di sanalah burung elang itu dipelihara di dalam sebuah kandang yang luas.

Siapa pemilik villa megah itu, aku tidak tahu. Kasak kusuk yang kudengar adalah dia seorang mantan jenderal yang sekarang terjun ke politik. Setiap Kamis malam, banyak mobil berdatangan masuk ke dalam gerbang tinggi berpenjagaan ketat itu. Kutaktahu, apakah mesti kusyukuri kehadiran villa megah itu karena telah menyingkirkan waringin angker itu dan telah membuat jalan kampungku beraspal dan lebih lebar.

Ville de Lumière, Kamis dini hari 13 November 2014

* disunting dari Novel Ahmad Tohari, Ronggeng Dukuh Paruk

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline