[caption id="attachment_339872" align="aligncenter" width="320" caption="mediafiles.cineplex.com"][/caption]
Ketika seorang alien dari planet Krypton menjadi wartawan lugu harian “Daily Planet,” lahirlah kisah Superman. Ketika seorang mutant tampil di depan umum sebagai fotografer culun untuk harian “Daily Bugle,” lahirlah kisah Spiderman. Tetapi, bagaimana kalau seorang psycophat memilih menjadi jurnalis lepas? Yang muncul bukanlah kisah tentang seorang ketua partai politik, tetapi film Nightcrawler.
Nightcrawler (terjemahan bebasnya: sosialita malam) adalah besutan perdana Dan Dilroy sebagai sutradara. Dilroy sudah dikenal sebagai seorang penulis naskah untuk beberapa film seperti The Fall (2007), Real Steel (2011) dan The Bourne Legacy (2012). Kisah Nightcrawler ini juga lahir dari tangannya. Kali ini, suami dari artis senior Rene Russo ini memilih untuk menyutradarainya sendiri.
Secara garis besar, Nightcrawler berkisah tentang Lou Bloom (Jake Gyllenhaal), seorang pemuda yang sulit mendapat kerja. Nasib mempertemukan dirinya dengan Joe Loder (Bill Paxton) seorang jurnalis lepas yang secara khusus menyuplai berita video “penuh darah,” entah tentang kecelakaan lalu-lintas entah tentang tindak kriminal yang terjadi di kota Los Angeles. Dari Joe-lah, Lou mendapat ide untuk menghasilkan uang dengan menjual hasil liputan lapangan ke stasiun televisi. Berbekal sebuah handycam sederhana yang didapatnya dengan menjual sepeda curian, Lou pun mulai meniti karir dari nol sebagai seorang jurnalis lepas. Ia merekrut Rick (Riz Ahmed) sebagai asistennya. Bisnis jurnalisme ini mengantar Lou bertemu dengan Nina (Rene Russo), penanggung jawab siaran berita pagi sebuah stasiun televisi swasta. Obsesi Lou untuk meraih sukses di bidang jurnalisme kriminal disambut dengan tangan terbuka oleh Nina yang ingin bertengger sebagai penyuplai berita pagi nomor wahid di Los Angeles. Keduanya dimabukkan oleh keinginan untuk sukses hingga melupakan etika dan kode jurnalistik dalam penyampaian berita.
Etika dan kebenaran, keduanya tidak ditemukan dalam kamus tokoh Lou. Sedari awal Dilroy menampilkan Lou sebagai personifikasi dari prinsip homo homini lupus (manusia adalah serigala bagi sesamnya) buah pikir filsuf Inggris, Thomas Hobbes. Secara simbolis hal itu terbaca dari bidikan kamera Robert Elswit yang menangkap bulan purnama sempurna di atas Los Angeles pada awal dan akhir film.
Secara naratif, keserigalaan Lou terlihat dari kecenderungannya untuk menghalalkan segala cara demi mendapatkan apa yang diinginkannya. Bagi Lou, tujuan menghalalkan jalan. Tanpa ragu, misalnya, Lou menghajar seorang petugas keamanan hanya untuk mendapatkan arloji sang petugas (seperti bulan purnama, arloji itu juga tampil di awal dan akhir film). Ia tidak segan memutarbalikkan fakta asal rekamannya ditayangkan di televisi. Misalnya: ia mengubah posisi jenazah korban kecelakaan lalu-lintas demi memperoleh sudut pengambilan gambar terbaik, atau ia menyembunyikan rekaman wajah pelaku penembakan agar ia sendiri dapat mengatur kapan, di mana dan bagaimana pelaku itu bertemu dengan polisi dan ia akan merekam peristiwa penangkapan itu. Tidak hanya berhenti di situ. Ia pun tanpa segan memanipulasi bahkan menghabisi orang-orang yang ada di sekitarnya. Joe, misalnya, sesama jurnalis lepas yang dianggapnya sebagai saingan dihabisinya lewat kecelakaan mobil yang dirancangnya. Nina pun dimanfaatkan dan diintimidasi agar video kirimannya ditayangkan dan dinilai dengan harga tinggi.
Karakter Lou yang tidak segan melabrak norma umum, suka berbohong dan kerap memanipulasi orang lain identik dengan tanda-tanda seseorang yang mengalami gangguan mental (psycophat). Penulis dan sutradara Dilroy menggambarkan bagaimana dunia jurnalisme yang melupakan kode etiknya dapat bergandengan tangan dengan begitu nyaman dengan para jurnalis yang psycophat. Sebab, jurnalisme tanpa kode etik akan cenderung menipu dan memanipulasi para pemirsanya dengan menampilkan fiksi sebagai fakta. Kecenderungan ini sudah nampak dalam diri Nina. Misalnya, ia tidak akan menggunakan kata "tayangan penuh darah" untuk gambar korban pembunuhan atau kecelakaan, tetapi memilih istilah yang lebih halus: "graphic."Atau ketika rekan Nina di stasiun televisi mengingatkan bahwa kejahatan yang direkam oleh Lou bukanlah kejahatan perampokan biasa tetapi kejahatan narkotika, Nina hanya menjawab: "Katakan itu pada berita sore. Kita di berita pagi hanya mengikuti narasi Lou. Dia memberi inspirasi pada kita semua untuk mencapai tempat yang lebih tinggi..."
Tentu bukan hanya dunia jurnalisme yang cenderung berperilaku demikian. Setiap bidang kehidupan yang tidak dikemudikan oleh etika dan kesadaran moral, akan dikutuk untuk tunduk pada hukum homo homini lupus.
Gyllenhaal memerankan Lou dengan cemerlang. Penonton terpancing di satu sisi merasa iba tetapi di sisi lain ngeri menatap mata dan senyum Lou di balik tirusnya wajah Gyllenhaal. Tidak sia-sia cucu dari Elswit, kameramen peraih Oscar yang ada di balik bidikan gambar film ini, kehilangan lebih dari 9 kilo demi meraih citra seekor serigala yang lapar. Acungan jempol juga pantas diberikan kepada Dilroy baik sebagai penulis maupun sutradara film ini. Struktur film yang sederhana, yang secara bertahap menampilkan “kejahatan” jurnalisme Lou tidak melenyapkan suspense yang membuat penonton betah mengikutinya. Tidak lupa, Riz Ahmed yang terkenal berkat film Four Lions, berperan secara gemilang sebagai pendatang yang besar di Los Angeles. Aksen britishnya nyaris hilang.
Tanpa banyak menggurui, Nightcrawler berpesan pada pemirsa tentang pentingnya melacak rekam jejak para pejabat publik. Jangan sampai seorang psycophat beralih rupa jadi seorang penyuplai berita, misalnya, atau penyuplai kebijaksanaan dan keputusan di parlemen, di partai, atau di pemerintahan… jangan sampai dah!
Ville de Lumière, Jumat 5 Desember 2014
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H