Lihat ke Halaman Asli

Severus Trianto

Mari membaca agar kita dapat menafsirkan dunia (W. Tukhul)

Jokowi, Siti Nurbaya Sindrome dan Asa yang Tersisa

Diperbarui: 17 Juni 2015   11:38

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Apa yang akan terjadi kalau Jokowi akhirnya melantik Komjen Budi Gunawan sebagai Kapolri? Apa yang akan terjadi seandainya Jokowi limbung bersikap sampai seluruh unsur pimpinan KPK disekap? Yang terjadi adalah kemarahan rakyat. Dan anehnya, kemarahan itu tidak pertama-tama ditujukan kepada Jokowi sebagai Presiden RI, tetapi kepada para petinggi PDI-P yang telah menyandera Jokowi dengan hutang balas budi dan para koruptor yang akan meneriakkan seruan "Merdeka!" atas kehancuran KPK. Mengapa Jokowi bukan sasaran utama kemarahan rakyat?

Ibarat jalinan kisah dalam novel masyur karya Marah Rusli, Jokowi 'hanyalah' seorang Siti Nurbaya yang mesti rela dinikahi oleh Datuk Meringgih demi membalas budi dan jasa kedua orang tuanya. Kita marah pada kedua orang tua Siti Nurbaya. Kita benci pada si Datuk kaya. Tapi kita kasihan pada Siti Nurbaya. Untunglah, Jokowi bukan Siti Nurbaya, hingga masih ada asa tersisa. Jalan bagi asa dapat terbuka, kalau Jokwo menggenggam erat tiga hal berikut.

Pertama, Jokowi tidak hanya punya satu 'ibu' tapi tiga. Sebagai Presiden, figur Jokowi terlalu sering dihubungkan dengan seorang Ibu yaitu Megawati, ketua umum PDI-P. Hal ini dapat dipahami karena putri Bung Karno ini ibarat Ibu Politik bagi Jokowi. Megawatilah yang memberikan Jokowi kepada dunia perpolitikan Indonesia. Beliau adalah mentor sekaligus pelindungnya. Ketika banyak petinggi partai berlambang banteng itu meragukan kapasitas Jokowi baik ketika diajukan sebagai calon Gubernur DKI maupun sebagai calon Presiden RI, Bunda Mega bersikukuh dengan intuisinya: Jokowi harus maju, demi kepentingan bangsa. Maka, sulit membayangkan karir politik Jokowi tanpa kehadiran sang Ibu Politik, Megawati.

Tetapi, ketika balas budi politik jadi belenggu, Jokowi mesti ingat bahwa beliau tidak hanya punya Ibu Politik tapi pertama-tama  ibu kandung yang mendoakan dan merestui setiap langkahnya. Melalui ibu Sujiatmi, Jokowi dapat hidup, tumbuh dan besar di dunia ini. Kehidupan, inilah dasar segalanya, sebab bagaimana Jokowi dapat meniti karir politik kalau beliau tidak pertama-tama hadir di dunia ini lebih dulu? Dan siapa yang paling berjasa dalam menghadirkan seorang anak ke pentas kehidupan kalau bukan seorang ibu? Maka, saya yakin, Jokowi senantiasa mengingat dan menggeggam erat dalam batinnya pesan dan restu sang Bunda. Dan restu Bunda mengantar setiap putra dan putri pada sang pemberi kehidupan, yaitu Tuhan sendiri. Tidak heran, sikap pertama yang dibuat ibu Sujiatmi begitu hasil quick count memenangkan Jokowi sebagai Presiden RI ke 7 adalah bersembah sujud pada Yang Maha Kuasa.

Masih ada seorang ibu lagi yang harus diingat oleh Jokowi, yaitu ibu pertiwi. Tugas utama seorang Presiden RI adalah berbakti pada Ibu Pertiwi, pada rakyat. Salah satu pelaksanaan tugas itu adalah membangkitkan daya masyarakat untuk membangun bumi pertiwi tercinta dan bukan mendirikan menara gading kepentingan golongan. Maka, ketika partai politik lupa arah perjuangannya, tugas seorang Presiden untuk mengingatkan dan meletakkannya kembali ke arah yang benar.

Kedua, sebagai orang Jawa, Jokowi tentu penganut prinsip 'The Golden Way'.  Di sini, 'The Golden Way' tidak ada sangkut pautnya dengan acara binaan stasiun tivi milik Surya Paloh. The Golden Way yang dimaksud adalah jalan tengah: di antara dua ekstrem, kebijaksanaan ada di tengah-tengahnya. Apa maksudnya? Dalam konflik KPK versus Polri, Jokowi seolah dihadapkan pada dua ekstrem: rakyat yang anti korupsi yang menemukan simbolnya dalam KPK atau Kapolri pilihan partai di bawah Megawati. Di antara kedua ekstrem itu, ambillah jalan tengah. Artinya, jangan tinggalkan PDI-P, tapi ambil inti dari PDI-P. Maksudnya? PDI-P itu terdiri dari dua huruf P, yang masing-masing merujuk pada 'Perjuangan' dan 'Partai', yang mengapit huruf D dan I, yang merupakan kepanjangan Demokrasi Indonesia. Jadi, Jokowi jangan berhenti pada kedua huruf P (Perjuangan dan Partai) tapi harus masuk sampai ke tengahnya, ke intinya, yaitu Demokrasi Indonesia. KPK adalah buah dari gerakan demokrasi di tahun 1998 ; demikian juga Polri yang mandiri, yang lepas dari TNI, buah dari gerakan yang sama. Maka, pilihlah jalan tengah, inti dari PDI-P, yaitu Demokrasi Indonesia; lanjutkan reformasi yang masih belum tuntas, dengan menguatkan KPK dan membersihkan Polri.

Ketiga, seperti sudah disebut di atas, Joko Widodo bukanlah Siti Nurbaya. Presiden RI ke 7 terkenal dengan sebutan Jokowi. Dalam bahasa Perancis, oui (baca: wi), berarti iya, oke, yes. Artinya, Jokowi adalah pemimpin yang membuat sesuatu itu dapat berjalan, dapat terlaksana, dapat diwujudkan di lapangan. Jokowi bukan figur pemimpin dengan teori dan retorika besar. Beliau sibuk blusukan dan bukan banyak duduk di belakang meja. Jadi, blusukanlah wahai Bapak Presiden ke kantor KPK dan Mabes Polri untuk melihat dan menemukan kenyataan yang ada. Jadikan keadaan menjadi oui alias oke berkat pengamatan atas kenyataan di lapangan dan bukan apa kata orang.

Jangan ubah Jokowi jadi Siti Nurbaya.

Ville de Lumière, Sabtu 7 Februari 2015 page




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline