Lihat ke Halaman Asli

Memangnya Ada Pengalaman Seru Naik Commuter Line?

Diperbarui: 6 Desember 2015   22:07

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Saya tidak dibesarkan di Jakarta, tapi sewaktu masih kecil, saya sering berlibur ke kota ini. Saya tidak begitu ingat kali pertama saya menggunakan kereta. Yang saya ingat, saya yang masih kecil dan pendek, hampir kehabisan napas karena berada di antara kerumunan orang banyak. Di lain waktu, saya mendapat kesempatan untuk menikmati bangku kereta. Tetapi, nyatanya para pedagang dan pengamen yang tidak henti-hentinya bergantian mengisi gerbong, tetap membuat saya merasa kurang nyaman.

"Oh, ini yang namanya kereta. Nggak lagi-lagi deh naik transportasi kayak gini."

Beberapa tahun berlalu, ternyata saya resmi menjadi warga Jabodetabek. Lebih spesifik lagi, saya resmi menjadi penumpang aktif kereta yang kini telah berganti nama menjadi Commuter Line. 'Janji' yang saya ucapkan ketika masih kecil ternyata harus saya ingkari.

Bagi orang-orang seperti saya yang menghabiskan lima dari tujuh harinya di dalam Commuter Line, pengalaman menyenangkan rasanya sulit untuk diingat. Suasana Commuter Line yang padat, perasaan panik sewaktu menunggu Commuter Line yang tak kunjung tiba, berhadapan dengan penumpang yang kurang menyenangkan, adalah peristiwa yang seringkali mengisi hari-hari saya. Tapi, hal tersebut tidak membuat saya dan penumpang lain jera. Barangkali, Commuter Line telah mengajarkan kami menjadi kebal.

Ya, Commuter Line, bagi saya pribadi adalah pengajar alias guru. Guru favorit.

Ia mengajarkan saya menjadi pengendali waktu. Tidak bisa menaklukkan jalanan Jakarta? Macet Jakarta nggak ada obatnya? Jangan turun kesana. Commuter Line bisa mengantar lebih cepat dari transportasi umum yang lain. Jadi, siapa bilang orang Jakarta tukang ngaret? Setidaknya, saya bukan salah satunya.

Pernah merasakan keringat mengucur di sekujur tubuh? Berharap bangku kosong yang didapatkan setelah perjuangan yang cukup berat bisa menenangi? Tentu. Namun, sadar para lansia, balita, dan ibu mengandung lebih merasakan dan membutuhkan bangku, membuat saya belajar mengalah. Senyum dan ucapan terima kasih dari mereka konon lebih ampuh mengobati lelah.

Commuter Line melatih saya agar selalu waspada. Jeritan frustrasi ketika barang kepunyaan raib tidak jarang terdengar. Menyalahkan petugas keamanan hingga pemerintah bukanlah solusi. Simpan barang, genggam tas, amati sekeliling. Kriminalitas tidak akan pernah ada habisnya. Saya memang dituntut untuk selalu waspada agar bisa bertahan di kota ini. Tidak hanya di dalam Commuter Line.

Istilah 'kereta masih tertahan', dan 'gangguan sinyal' bukan suatu hal yang asing. Suara decakan kesal akan menyusul keluar dari mulut para penumpang. Sejujurnya, saya benci mendengarnya. Earphone langsung menjadi teman baik saya jika hal ini terjadi. Saya menjadi sadar bahwa saya tidak bisa memaksa orang lain untuk tetap tenang.

Lain lagi ketika Commuter Line mengalami insiden. Ia memang telah melatih saya untuk sabar menunggu, tetapi tidak untuk menunggu hal yang sia-sia. Ia juga mengajarkan saya kapan harus berhenti. Setelah tahu bahwa penanganan insiden membutuhkan waktu yang lama, segera saya keluar dari stasiun dan mencari kendaraan alternatif.

Wajah-wajah lelah yang setiap hari saya pandangi membuat saya bersyukur: saya tidak berjuang sendirian. Sepenggal lirik "But are we all lost stars trying to light up the dark?" yang dilantunkan Adam Levine terasa masuk akal. Kita semua sama-sama berjuang di dalam Commuter Line ini. Lebih luas lagi, di dalam hidup ini. Tidak ada yang superior dan inferior.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline