Lihat ke Halaman Asli

[FFA] Suara Misterius

Diperbarui: 24 Juni 2015   06:17

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Oleh: Triani Retno (No. 423)

Hatchiii…! Hatchiii…!

Sedikit air memercik dari mulut Prilly, mengiringi suara bersinnya. Sudah terlambat untuk menutup mulut.

“Prilly…! Kalau bersin itu mulutnya ditutuuup!” teriak Dirly kesal. “Jijik, tauuu! Tuh, muncrat ke mana-mana!”

Prilly tak bisa menjawab karena hidungnya masih terasa sangat gatal. Masih akan bersin-bersin, entah berapa kali lagi.

“Hatchiii…! Haaatc….” Prilly berlari ke luar rumah. Udara segar, mana udara segar?

“Prilly…?”

Prilly tak menjawab panggilan Mama. Bukannya Prilly bermaksud tak sopan, tetapi sudah ada bersin baru yang siap menyembur dari mulutnya.

Sampai di halaman rumah, barulah Prilly merasa lebih lega. Ia menarik napas dalam-dalam. “Ya Tuhaaan, makasih udah menciptakan pohon-pohon yang menghasilkan udara segar seperti ini,” gumamnya dalam hati. Matanya menatap pohon mangga dan pohon rambutan yang tumbuh gagah di halaman.

Prilly mengangkat ujung baju kausnya, mengelap ingus yang keluar akibat bersin itu dengan sisi dalamnya. “Untung Dirly nggak liat,” ujar Prilly dalam hati. Ia nyengir. Ia tahu ini menjijikkan. Tapi apa ada pilihan lain? Kedua telapak tangan Prilly kotor kehitaman oleh debu.

Tadi Prilly bukannya tak mau menutup mulut dengan tangan agar bersinnya tak menyembur ke mana-mana. Tapi Prilly tak menemukan sesuatu untuk menggantikan telapak tangannya yang sangat kotor itu. Menutup mulut dengan telapak tangan yang kotor berdebu, sih, sama saja dengan mengundang bersin yang lebih dahsyat.

“Makanya, udah tau alergi debu jangan sok-sokan nggak pakai masker!” tegur Dirly. Ia menghampiri saudara kembarnya itu. Tangan kanannya menenteng ember berukuran sedang, tangan kirinya memegang sehelai masker bergambar Hello Kitty.

Prilly nyengir. “Lupa, Dir.”

“Lupa apa males?” sindir Dirly. “Nih, cuci tangan dulu.”

“Siap, Bos.” Prilly mengambil gayung kecil di dalam ember, lalu mulai membersihkan tangannya. Sebenarnya tak jauh dari pintu gerbang juga ada keran. Sayangnya, tak ada air yang mengucur dari sana. Mungkin saluran airnya mampet oleh lumut.

Selesai mencuci tangan, Prilly mengambil masker yang disodorkan saudara laki-lakinya itu. “Nemu maskerku di mana, Dir?”

“Ada di Mama,” sahut Dirly. Ia memperhatikan pohon mangga yang meneduhi halaman rumah mereka. “Wah, lagi berbunga, ya?”

“Nanti kalau udah musim, kita bisa puas-puas makan mangga,” komentar Prilly.

“Iya,” angguk Dirly. Ia duduk di bangku kayu.

“Hati-hati gedubrak!” Prilly mengingatkan.

“Kokoh, kok,” sahut Dirly sambil mencoba menggoyang-goyangkan bangku itu. “Coba aja sendiri.”

Prilly duduk di bangku yang lain. Ada empat bangku kayu di situ, mengeliling satu meja yang juga dari kayu. Ternyata Dirly benar. “Hebat,” komentar Prilly. “Padahal udah lama nggak terurus, kena panas dan hujan bertahun-tahun….”

“Papa sama Mama kok bisa-bisanya ya ngajak kita pindah rumah ini,” ujar Dirly.

“Daripada di mess, enakan di sini kali, Dir,” sahut Prilly. “Halamannya juga luas.”

“Iya. Tapi rumah ini kan udah lama kosong. Debu-debunya aja tebel gitu,” balas Dirly. “Siapa tuh yang tadi bersin-bersin gara-gara debu?”

Prilly nyengir. Heran. Mereka kembar, tapi kenapa cuma Prilly yang alergi debu, ya?

“Eh, Dir. Rumah ini kan udah lama banget kosong. Kira-kira, serem nggak, ya?”

Dirly mengangkat bahu. “Mudah-mudahan enggak….”

“Dirly…! Prilly…!”

“Ya, Maaa!” sahut Dirly dan Prilly berbarengan.

“Kamar kalian sudah bersih?”

“Belum, Maaa!” Lagi-lagi mereka menjawab bersamaan.

Kedua saudara kembar itu berpandangan.

“Bersih-bersih lagi,” ajak Dirly.

Prilly mengangguk, mengenakan masker Hello Kitty-nya.

***

Keluarga Prilly baru tiga bulan menetap di Bandung. Selama tiga bulan ini mereka tinggal di mess milik perusahaan tempat Papa bekerja. Kemudian Papa dan Mama memutuskan membeli rumah sendiri agar lebih leluasa.

Setelah mencari-cari, akhirnya rumah ini yang terpilih. Kata Papa, harganya termasuk murah untuk rumah sebesar ini. Letaknya memang harus masuk gang, tapi tak terlalu jauh dari sekolah baru Prilly dan Dirly, SD Bina Prestasi.

Rumah itu sudah bertahun-tahun kosong. Ketika pertama kali ke sana, rumput setinggi lutut memenuhi halaman. Bahkan ada tanaman liar yang tumbuh di talang air. Aliran listrik sudah mati, keran tak mengucurkan air, dan beberapa genteng sudah pecah.

Jadi, Papa menyuruh orang untuk membereskan. Setelah beres, barulah mereka pindah ke rumah itu.

Tapi ternyata bagian dalam rumah masih harus dibersihkan lagi. Itulah yang dikerjakan oleh si kembar Prilly dan Dirly serta kedua orangtua mereka sepanjang hari ini.

Ketika matahari terbenam, rumah baru mereka sudah cukup bersih dan rapi. Nasi dan soto ayam pun sudah tersaji di meja. Mama membelinya di warung makan yang tak jauh dari rumah. Mama tak sempat memasak karena ikut sibuk membersihkan rumah baru mereka.

Pukul setengah delapan malam, Prilly dan Dirly sudah masuk ke kamar mereka masing-masing. Letih sekali rasanya. Begitu merebahkan tubuh di kasur, mereka langsung terlelap.

Namun, tengah malam Prilly terbangun.

Sreeet… sreeet….

Braaaak…!

Jantung Prilly berdegup kencang. Suara apa itu? Suara kresek-kresek itu terdengar lagi. Kali ini diikuti dengan gorden jendela yang bergerak-gerak ditiup angin. Prilly makin ketakutan. Ia menarik selimut hingga menutupi kepalanya.

Sreeet….

Klontaaang…!

Cukup sudah! Prilly langsung melompat dari tempat tidurnya. Dengan tubuh gemetar, ia berlari membuka pintu kamar. Pada saat yang hampir bersamaan, pintu kamar Dirly pun terbuka. Tanpa berkata apa-apa kedua anak kembar itu berlari ke kamar orangtua mereka.

Benak mereka dipenuhi dugaan: rumah kosong ini berhantu!

***

“Hantu?” Papa mengangkat alis.

Dirly dan Prilly mengangguk.

“Pasti karena rumah ini udah lama banget kosong, Pa,” ujar Prilly.

“Kalau di cerita-cerita, rumah kosong kan biasanya berhantu, Pa,” tambah Dirly.

“Hantu kok bunyinya klontang-klontang?” tanya Papa.

“Harusnya bunyi hantu gimana, Pa?” tanya Prilly. Pengalaman tadi malam masih membuatnya merinding.

Papa menggeleng. “Papa juga nggak tahu.”

Prilly dan Dirly menatap Papa. Detik berikutnya, mereka terlonjak. Jeritan Mama mengejutkan mereka. Papa langsung berlari ke dapur. Di sana, Mama pucat pasi di dekat meja dapur.

Ketika si kembar menyusul ke dapur, wajah Mama masih terlihat pucat. Sementara itu, Papa mengangguk-angguk.

“Siap-siap! Kita akan mengangkap hantu itu!”

Wajah si kembar pucat.

***

Satu jam kemudian, Mang Ujang datang membawa tangga. Setelah mengobrol sebentar dengan Papa, Mang Ujang naik ke atap rumah. Lima menit kemudian, Papa menyusul naik sambil membawa emergency lamp.

Dngan cekatan Mang Ujang melepas beberapa buah genteng. Setelah terbuka cukup lebar, Mang Ujang masuk ke ruang di antara genteng dan eternit rumah. Papa mengulurkan lampu darurat pada Mang Ujang. Ruangan gelap di loteng kini menjadi terang.

Di satu bagian, ada lembar-lembar papan di atas rangka kayu. Dus-dus berbagai ukuran menumpuk di sana. Tampak pula beberapa kaleng bekas cat, ban, layang-layang, da berbagai benda lainnya.

Sreeet… gubraaak … klontaaang…!

Beberapa ekor tikus berukuran besar berlarian, menabrak benda-benda yang ada di sana.

Mang Ujang meletakkan makanan yang telah diberi racun tikus di beberapa tempat. “Nanti tiap hari saya ke sini buat ngecek, Pak,”kata Mang Ujang sambil terus bekerja. “Kalau ada tikus yang mati bisa langsung dibuang, biar nggak bau busuk.”

Papa mengangguk-angguk, sibuk merekam dengan kameranya.

Prilly dan Dirly langsung menyambut ketika Papa turun dari atap.

“Hantunya ada di sini,” Papa mengacungkan kamera.

Kedua anak kembar itu berebut melihat rekaman di kamera itu. Mereka terbahak-bahak ketika mengetahui apa yang semalam membuat mereka ketakutan dan membuat Mama menjerit tadi pagi.

Tikus!

Tentu saja. Rumah kosong yang gelap dan kotor seperti ini adalah kerajaan para tikus.

Malam itu Prilly dan Dirly dapat tidur dengan pulas. Mereka tak takut lagi dengan suara-suara misterius itu.

***

NB : Untuk membaca karya peserta lain silakan menuju akun Fiksiana Community

Untuk bergabung dengan komunitas Fiksiana Community, silakan klik link ini Grup FB Fiksiana Community


Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline