Lihat ke Halaman Asli

Trian Ferianto

TERVERIFIKASI

Blogger

Masih Enggan Nulis? Satu Alasan Ini Sudah Cukup!

Diperbarui: 21 Agustus 2019   12:23

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Menulis adalah melanjutkan estafet ilmu | Dok. pribadi

Selepas lulus SMA, saya terhitung jarang sekali pulang ke rumah di mana saya dibesarkan, sebab seperti yang pernah saya ceritakan di tulisan ini, saya langsung menempuh studi ke luar kota, begitupun setelah lulus langsung bekerja di luar pulau. Maka saat pulang ke rumah, seringkali saya mencari 'harta karun' di rumah.

Saya ditinggal Bapak saya pas di hari keempat saya kuliah, maka saya belum sempat berdiskusi dan saling tukar pikiran dengan Bapak layaknya diskusi orang dewasa. Sekarang, saya membayangkan betapa 'nikmatnya' jika bisa melakukan hal itu, bisa menggali kebijaksanaannya, pengalaman panjang yang telah ditempuhnya, dan pesan-pesan personal sesama lelaki dewasa yang mungkin belum disampaikan kala saya masih dianggap anak-anak dulu.

Satu-satunya 'harta karun' yang saya temukan hanyalah goresan-goresan ala manusia purba yang ditinggalkan bapak, yakni: Sabar, Loman, Ngalah. Kombinasi potongan kata-kata ini saya temukan di beberapa tempat: di cover buku TTS yang biasa diisi Bapak di masa akhirnya, di buku catatan kecil risalah rapat pengurus Ranting NU, atau di lembaran-lembaran teks wirid istighotsah yang biasa dibacanya selepas salat.

Hanya tiga kata itu saja yang diulang-ulang di banyak tempat, tak ada penjelasan lebih apalagi syarah yang agak panjang.

Ketika saya konfirmasi ke ibu saya, kira-kira apa makna goresan Bapak itu? Ibu hanya memberikan penjelasan,
"Ibu saksinya, Bapakmu itu ya selalu berusaha sabar, loman, dan ngalah selama menjalani hidupnya. Itu juga yang sering diingatkan pada Ibu."

Sabar, kita tahu bersama makna letterlijk-nya. Loman, adalah bahasa jawa dari ringan tangan, atau suka memberi alias tidak pelit. Sedangkan ngalah artinya suka mengalah dan tidak perlu mau menang sendiri. Namun sebatas makna kata itu saja yang bisa saya ambil, selebihnya hanya tafsiran-tafsiran saya pribadi berdasar lelaku Bapak dulu.

Bapak hanya berijazah SMP, jadi tidak memiliki karya tulis ilmiah semacam skripsi atau sejenisnya, pun juga tidak memiliki kebiasaan menulis. Praktis, hanya dari goresan ala manusia purba itulah, saya bisa menerawang warisan petuah peninggalan Bapak.

Sontak, saya seperti tersadarkan kembali kenangan ini, kala kemarin saya mengikuti The Writers, semacam  online sharing tentang kepenulisan bersama Om Bud, panggilan akrab Budiman Hakim, jagoan advertising papan atas Indonesia, sekaligus pakar copywriting.

Baca juga: Jurnal Kompasianer Debutan, 6 dari 8 Jadi Artikel Pilihan: Tips dan Catatan bagi Newbie

Pertama kali saya tahu sosok beliau adalah kala mendapat buku gratis setelah menonton taping Kick Andy edisi Srimulat sekitar tahun 2008-2009. Dulu saya sering sekali ikut nonton Kick Andy di studio, sebab pulangnya selalu diberikan buku gratis bagi semua yang hadir. Sebagai mahasiswa, ini sungguh kemewahan sejati.

Buku yang saya dapatkan saat itu berjudul Sex After Dugem. Isinya berupa esai-esai pendek pengalaman Om Bud selama di dunia periklanan dan saat bersentuhan dengan kehidupan para artis yang ditanganinya. Buku ini menarik, mengalir sekali cara menulisnya. Sejak itu, saat ada kesempatan belajar langsung dengan beliau, tidak akan saya sia-siakan.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline