Dari dalam surau kecil, dia memandang ke balik jendela. Tampak ujung pohon menjulang sambung menyambung tanpa putus. Deretan bukit-bukit hijau menyembul di antaranya, kian lama kian tampak seiring fajar yang terus naik.
Keinginan terbesarnya adalah pergi haji, atau setidaknya umroh. Namun dia sadar penghasilannya saat ini menjadikan impian itu agak susah terpenuhi, maka inilah kesehariannya sejak dua puluh tahun lalu setelah mentas dari pesantren milik Kyai Sepuh. Berdiam diri selepas shalat subuh berjamaah hingga fajar mulai terang, berharap pahala layaknya orang-orang yang mabrur.
Dia tinggal seratus meter dari tempat orang berjamaah itu, bersama istri dan dua orang anaknya. Selepas ini biasanya dia pergi ke kebun belakang rumah peninggalan mertuanya. Di pikirannya sederhana saja, asal bisa buat makan dan biaya sekolah anak-anak maka berkebun saja sudah cukup.
"Pak Udin, nanti sore masuk, kan ngajinya?"
"Iya," jawabnya.
***
"Wah... dana beasiswanya kok belum cair ya? Biaya hidup pakai apa nih?" Gumamnya sambil menatap internet banking di layar ponselnya.
Dua jam kemudian dia fokus menulis di laptopnya. Analisis terkini tentang kondisi Suriah pasca ISIS yang dikemas dalam bentuk opini. Jago sekali dia membuat naskah yang aduhai. Dikirimkannya ke salah satu media besar di Indonesia. Harapan satu-satunya adalah naskah itu cepat dimuat untuk kemudian honornya cair.
"Abdul Majid Bustomi -- Mahasiswa doktoral Universitas Baghdad, Pengamat Timur Tengah." Ketikan bagian akhir naskah sebelum kemudian di kirim.
Dia hempaskan badan di kasur sebuah flat yang disewanya. Menghadap jendela kaca besar dengan bebas dia bisa memandangi riuhnya kota metropolitan yang sedang sibuk-sibuknya.