Lihat ke Halaman Asli

Mereka Tidak Ingin Menjadi PSK

Diperbarui: 26 Juni 2015   03:58

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Ajeng (bukan nama sebenarnya) hanyalah lulusan SMP. Kemiskinan orang tuanya membuatnya terpaksa tidak bisa meneruskan sekolah ke SMU. Ia harus berhenti sekolah, karena masih ada 3 orang adik-adik laki-lakinya yang harus dibiayai sekolahnya. Ayahnya yang hanya penjual belut dan ibunya seorang buruh cuci, memintanya untuk membantu mereka. Maka Ajeng pun bekerja sebagai buruh cuci.

Suatu hari seorang tetangganya mengajaknya untuk menjadi TKW di Singapura. Karena diiming-imingi mendapat gaji yang besar, Ajeng setuju. Ajeng pun meminta ijin kepada kedua orang tuanya untuk bekerja di Singapura. Ajeng bilang gajinya besar dan ia bisa mengirim gajinya setiap bulan kepada orang tuanya. Mendengar hal itu, orang tuanya memberi restu. Ajeng pun berangkat bersama tetangganya ke Jakarta.

Sesampainya di Jakarta, Ajeng diantar ke sebuah rumah mewah. Di sana Ajeng ditempatkan bersama perempuan muda lainnya, yang siap diberangkatkan ke Singapura. Tetangganya hanya mengantarnya sampai di situ. Ajeng berterima kasih kepada tetangganya, saat tetangganya hendak balik ke desa mereka. Di rumah itu, Ajeng ditampung selama beberapa hari. Setelah itu ia diberangkatkan dengan ke kapal laut menuju Batam.

Di Batam ia dan gadis-gadis muda lainnya ditempatkan di sebuah Night Club. Mereka bingung karena janjinya, mereka akan bekerja di Singapura. Namun bos mengatakan bahwa Batam itu dekat dengan Singapura, jadi sama saja. Kata bos, tugas mereka ringan, hanya mengantar minuman ke tamu dan menemani tamu minum. Karena mereka tidak mengerti, mereka melakukan tepat seperti yang disuruh bos. Mereka tidak tahu bahwa tamu night club itu adalah para lelaki hidung belang. Lelaki hidung belang itu mulai berani meraba paha dan bahkan mencium.

Ajeng kaget dan lari menemui bos untuk melaporkan hal ini. Bosnya malah memarahinya. Ia disuruh melakukan apapun yang diminta kliennya. Kalau tidak, Ajeng harus membayar semua biaya yang dikeluarkan majikannya sejak ia berangkat dari desa, tinggal di Jakarta, biaya kapal laut dan tinggal di di Batam. Kalau lari, bagaimana ia harus membayar kapal laut dan ongkos ke kampung?

Ajeng kebingungan. Ia tidak punya uang sebanyak itu. Uang di dompetnya tinggal Rp 50 ribu. Akhirnya ia terpaksa manut. Ia melakukan apa saja yang diminta klien. Di situlah ia mulai menjadi PSK. Setiap melayani klien, Ajeng dibayar Rp 500 ribu. Semuanya harus disetor ke bos. Kata bos, jatahnya hanya Rp 200 ribu. Namun harus dipotong dengan biaya selama ia tinggal dan di perjalanan, ia hanya menerima Rp 100 ribu. Potongan sebanyak 30 kali itu harus mereka terima dengan legowo, karena menurut bos, hutang mereka adalah sebesar Rp 3 juta. Biaya sebesar itu kata bos, untuk ongkos dari kampung ke Jakarta, biaya hidup di Jakarta, ongkos kapal laut dan penggantian uang bos untuk membayar tetangga mereka.

Ajeng dan semua temannya tidak pernah membayangkan bahwa mereka akan dijebloskan sebagai Pelacur. Mereka membayangkan akan menjadi TKW, namun yang terjadi malah sebaliknya. Mereka tidak bisa lari karena mereka pasti akan dikejar oleh bodyguard bos yang menakutkan, karena dianggap berhutang dan lebih parah lagi, karena bos tidak mau rugi. Mau kembali ke kampung tidak punya uang lagi. Alhasil, mereka terpaksa manut.

Sungguh malang memang nasib mereka. Sudah jatuh tertimpa tangga pula. Kabar itu akhirnya sampai juga ke telinga orang tua mereka. Orang tua pun murka, mereka merasa malu kepada seluruh warga desa dan tidak sudi lagi menerima uang kiriman mereka. Mereka bahkan menolak mengakui anak mereka lagi itu. Lantas kemanakah mereka harus pulang?

Penolakan keluarga dan masyarakat membuat mereka semakin merasa diri tak berharga. Sadar tidak akan ada orang yang sudi menerima mereka ( selain para lelaki hidung belang itu ), maka mereka harus membentuk komunitas sendiri, orang-orang senasib, korban kemiskinan, karena pendidikan yang tidak memadai, mereka terjebak menjadi korban prostitusi. Mereka disebut korban karena sesungguhnya, tidak ada seorang perempuan pun di dunia ini, yang bercita-cita menjadi pelacur. Mereka yang disebut orang pelacur adalah korban, karena itu para aktivis kemanusiaan mengganti istilah pelacur dengan pekerja seks komersial ( PSK ).

Semua perempuan itu hanya ingin punya hidup yang layak, punya suami yang baik dan keluarga yang menyenangkan. Sayangnya, ada saja tetangga mereka yang tega menjual mereka. Semoga jaringan mafia prostitusi itu dapat segera terungkap, agar tidak ada lagi korban yang berjatuhan. (Eva)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline