Lihat ke Halaman Asli

Mengenang Energi Jabat Tangan

Diperbarui: 14 Agustus 2018   14:32

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

dokpri

Berawal dari penawaran teman untuk mengisi waktu kosong, karena saat itu sedang libur kuliah akhirnya saya menyetujui untuk menjadi relawan/fasilitator di LPKA khusus anak laki-laki (lembaga pembinaan khusus anak). Saya tergabung di lembaga  naungan BKKBN (Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional). 

Bagi yang belum mengetahui dulunya anak-anak dibawah umur yang bermasalah dengan hukum akan ditahan bersama-sama dengan LAPAS (lembaga pemasyarakatan ) dewasa namun sehubungan dengan berubahnya peraturan tentang sistem peradilan pidana anak, maka dibentuklah lembaga ini yang bertujuan untuk memberi perlakuan yang ramah kepada anak-anak. 

Anak --anak ini akan dibimbing, diasuh dan diberikan pendidikan budi pekerti agar kelak setelah bebas dari hukuman mereka siap kembali ke masyarakat dengan budi pekerti yang baik.

Karena di kampus saya aktif dalam berorganisasi, tepatnya di organisasi kesenian, maka saya ditempatkan untuk mengisi kelas musik. Hampir semua fasilitator dan relawan adalah mahasiswa/I dari jurusan bimbingan konseling dan jurusan pendidikan anak. 

Saya adalah relawan yan paling berbeda dari yang lainnya yang sama sekali tidak menguasai ilmu tentang membimbing anak, ditambah anak -- anak yang di LPKA menurut mereka adalah anak yang perlu perhatian khusus dan penanganan yang berbeda. 

Tetapi saya berkeyakinan saat saya menganggap mereka adalah teman atau sama seperti manusia lainnya, saya rasa tidak akan ada hal yang membatasi diantara kami. Membawakan camilan, mendengarkan mereka bercerita, atau sekedar memberikan tos dan jabat tangan itu menjadi media untuk membangun kepercayaan mereka.

Kunjungan  pertama saya ke LPKA cukup membuat saya  takut, karena ini pertama kalinya saya ke LAPAS anak yang semua penghuninya  adalah laki-laki. Macam-macam rupa anak yang saya temui, ada yang bertato, anak dengan badan luka terbakar, anak dengan luka-luka sayatan, hingga anak yang terlihat tampak baik seperti tidak terlihat bermasalah dengan hukum. 

Untuk relawan pemula, saya selalu diberi pengarahan tentang apa yang tidak boleh saya lakukan dan apa yang mesti saya lakukan. Seperti saya tidak boleh tertawa terbahak-bahak, tidak boleh memberikan pulpen atau benda lancip lainnya, dan peraturan lainnya dengan tujuan agar tidak disalahgunakan oleh anak-anak.

Dalam seminggu kami membuka 3 kelas, yaitu kelas musik, kelas komik/menggambar, dan kelas bimbingan. Seperti biasa pula sebelum kami memulai kelas kami sebagai relawan mempersiapkan materi apa yang akan kami berikan, dalam hal kelas musik, nilai-nilai apa saja yang akan kami tanamkan terhadap anak-anak melalui musik. Pertemuan pertama  dan kedua saya habiskan dengan berkenalan dan mengamati anak-anak tersebut. 

Saya tidak pernah membahas alasan mengapa mereka bisa masuk LPKA atau bertanya apa yang mereka rasakan setelah tinggal di LPKA, karena informasi itu terkadang mereka utarakan sendiri kepada saya. Dari sebagian tahanan anak yang bercerita kepada saya mereka sebagian besar terjerat hukum karena narkoba, tawuran berat, pencurian serta yang paling saya takuti adalah anak yang mengaku sebagai tahanan karena membunuh. 

Saya menyadari mereka semua adalah anak-anak dibawah umur yang pasti banyak faktor internal dan eksternal yang mendorong anak-anak tersebut sampai dapat melakukan tindak pidana. 

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline