Lihat ke Halaman Asli

Cih

Diperbarui: 1 September 2015   10:22

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Fiksiana. Sumber ilustrasi: PEXELS/Dzenina Lukac

Pada suatu masa, ketika semua benda sudah serba canggih. Bukan hanya benda mati, binatang pun dibuat canggih. Raja Hutan meng-aum memakai sarung, unta tidak lagi meludah tapi berfalsafah, ada juga udang yang bersenjatakan parang.

Untuk sekedar menghilangkan suntuk setelah lama belajar di dalam kandang, saya jalan-jalan ke pasar tradisional. Melihat-lihat barang-barang unik yang pasti akan saya beli apabila benda-benda itu menarik hati saya. Sayangnya tidak ada sesuatu yang membuat saya terpikat, daya pesona benda-benda itu jauh di bawah standar ideal saya.

Tak ada yang istimewa, saya berjalan kembali menuju pintu masuk pasar tersebut. Saya masuk ke dalam elevator besar yang berbentuk seperti buah semangka. Saya pencet tombol terakhir di deretan tombol-tombol yang sekecil biji salak itu. Elevator bergerak horizontal.

Setelah beberapa sekat terlewati, pintu terbuka. Ding! Bidadari berjakun masuk, menekan-nekan beberapa tombol dengan jari lentiknya. Saya diam. Dia diam. Waktu terdiam. Karena bingung mau ketawa atau tersenyum, saya putuskan untuk nyengir. Nyengir takzim.

Kenapa nyengir? tanya bidadari dengan sinis kepada saya. “Sesuatu yang lucu membuat saya nyengir, Mas.” jawab saya dengan tenang. “Mas? Please deh. Nona. Panggil saya nona! Nona Minta Dansa.” seraya menjawil dagu saya dengan gemas. Dagu saya—yang berjanggut tipis itu—pun bergetar dengan tidak hebatnya.

Iya, Nona,” jawab saya tergagap-gagap kemudian selangkah menjauh. Sejurus kemudian bidadari pun nyengir. “Kenapa nyengir? tanya saya pura-pura tenang. “Sesuatu yang lucu membuat saya nyengir, Mbak.” jawab bidadari genit. “Mbak? Tolong, anda telah memancing emosi saya. Tuan. Panggil saya Tuan! Tuan Yang Terhormat.” seraya membenarkan bra saya yang kedodoran. “Iya, Tuan,” jawabnya sungkan. Saya tepuk-tepuk dada saya. Dada saya—yang sebesar pepaya itu—pun bergetar dengan hebatnya.

Ding! Pintu terbuka di suatu sekat. Dia diam. Saya diam. Waktu terdiam. Elevator yang tadi diam, diam-diam nyengir. Nyengir takzim. Pintu menutup kembali, kemudian bergerak vertikal.




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline