Lihat ke Halaman Asli

Bahasa Alay dan Nasionalisme

Diperbarui: 17 Juni 2015   06:04

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Dalam kehidupan sehari-hari kita tak bisa lepas dari komunikasi. Dengan komunikasi terjadilah interaksi. Saat terjadi proses interaksi tersebut pasti perlu sebuah instrumen yang disebut bahasa. Ya, bahasa menjadi hal mendasar dalam kehidupan dan telah melahirkan peradaban. Bayangkan saja tanpa adanya bahasa, bagaimana kita berinteraksi, sosialisasi, dan sebagainya?.

Melihat fenomena komunal yang terjadi di kalangan remaja Indonesia, sebut saja bahasa alay, membuat saya berpikir apakah ini salah satu bentuk pudarnya nasionalisme di kalangan generasi muda kita sekarang, atau ini justru sebagai inovasi bahasa yang muncul dari hak setiap individu untuk berkarya dan berekspresi.

Memang banyak pendapat yang muncul, ada yang pro pun ada yang kontra. Namun dalam tulisan ini saya lebih cenderung untuk mengkritik penggunaan bahasa alay tersebut.  Sudah seharusnya generasi muda Indonesia menjungjung dan menghormati bahasa persatuan yakni Bahasa Indonesia yang termaktub dalam Sumpah Pemuda. "Kami putra dan putri Indonesia, menjunjung bahasa persatuan, bahasa Indonesia”, itulah yang harus selalu diingat sebagai generasi muda bahwa menjunjung tinggi bahasa persatuan, bukan merusak budaya bangsa kita sendiri.

Jika kita perhatikan, sebenarnya bahasa alay ini merupakan bahasa khusus yang hanya dapat dipahami oleh suatu kelompok atau komunitas para remaja saja. Diluar komunitas itu, bahasa alay tidak dapat dijadikan sebagai komunikasi massa terlebih pada orang tua atau dalam sebuah komunitas yang formal. Inilah mengapa bahasa alay tidak bisa digunakan secara luas sebgaimana bahasa formal lain sepeti bahasa Indonesia.

Penggunaan bahasa alay secara terus-menerus dikhawatirkan akan berdampak pada lunturnya pemakaian bahasa Indonesia yang baik dan benar dalam kehidupan sehari-hari. Anak-anak akan lebih sulit menerima bacaan yang panjang dan ditulis lengkap dalam buku daripada membaca dan menulis pesan singkat di handphone dengan menggunakan bahasa alay yang lebih praktis.

Maka dari itu, sebagai generasi muda yang kelak menjadi pemimpin bangsa sudah seharusnya kita tidak mudah untuk mengikuti arus dan trend yang ada. Jangan sampai penggunaan bahasa alay tersebut menghilangkan jati diri bangsa Indonesia, karena masyarakatnya yang tidak menghormati bahasanya sendiri. Karena bahasa adalah cerminan martabat bangsa.




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline