Lihat ke Halaman Asli

Jauhi Komik Jepang!

Diperbarui: 24 Juni 2015   22:17

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Dulu ketika duduk di bangku SMP, saya sering kesal. Kesal ketika melihat seorang teman membaca komik. Kesal bukan main.
Mengapa? Teman saya itu tidak perduli dengan sekitar. Jika saya mengajaknya bermain, ia akan lebih memilih komik. Ia membawa komik kemana pun pergi. Membacanya di sela-sela pelajaran sekolah. Membacanya ketika jam istirahat. Bahkan bergegas pulang untuk membaca komik di rumah.
Terkadang, ketika membaca komik, ia tiba-tiba bisa senyum-senyum sendiri. Tertawa sendiri. Akhirnya terbahak-bahak. Lalu tiba-tiba terdiam. Menangis. Menggerutu. Seperti orang gila saja. Tak melihat ruang. Tak melihat waktu. Tak melihat tempat. Aneh.
Lain waktu, teman saya itu seperti berada entah dimana. Orangnya ada, tapi jiwanya melayang-layang. Jika diajak berbicara tentang suatu hal, jawabannya melantur. Buntutnya, ia malah membahas jalan cerita sebuah komik.

Apa asiknya membaca komik?
Suatu ketika saya mencoba membeli buku komik. Komik bergambar seorang pria kecil dan temannya yang berbadan besar. Mereka berdua sangat kuat. Si pria kecil akan menjadi kuat jika meminum suatu ramuan ajaib. Sedangkan si pria berbadan besar memang sudah kuat dari sananya. Konon saat masih bayi, ia terjatuh ke dalam panci ramuan tersebut. Selain itu, mereka suka berkelahi. Paling suka dengan tentara Romawi. Membuat pasukan Romawi tercerai-berai. Saya sering tersenyum saat membaca komik tersebut. Apalagi nama-nama orang yang terlibat di dalamnya membuat geli. Selalu berakhiran dengan huruf x. Baik kedua tokoh maupun teman dan musuhnya. Pasti ada yang sudah bisa menduga komik apa yang saya maksud. Ya...Asterix dan Obelix. Komik pertama yang saya baca.
Ada juga komik lainnya yang bisa membuat saya tersenyum sendiri ketika membacanya. Komik berasal dari Belgia yang berisi mahkluk-mahkluk kecil lucu berwarna biru. Banyak jumlahnya. Diantara 100 mahkluk biru, hanya ada satu wanita. Masing-masing mahkluk biru tersebut memiliki sifat yang unik. Tidak ada yang sama. Ada yang suka menggerutu, ada yang suka membaca, ada yang suka bermain musik, ada yang suka memasak, ada si jenius, pencari jejak, pelukis, dan sebagainya. Mereka senang bekerjasama satu dan lainnya. Suka memakai topi berwarna putih. Sedangkan sang ketua memakai topi berwarna merah. Musuh mereka adalah seseorang yang memiliki kucing. Komik Smurf.
Tapi, kedua komik itu tidak sampai membuat saya seperti teman tadi. Asik? Iya. Seru? Iya. Tertawa ataupun tersenyum? Iya. Tapi saya masih perduli dengan sekitar. Saya tidak berubah menjadi seperti orang gila. Saya tidak aneh.
Saat SMA, teman sebangku saya ternyata penggemar komik. Tingkah lakunya sama dengan teman sebelumnya. Suka tertawa kemudian terbahak-bahak. Saya menjadi penasaran. Komik sudah seperti virus saja. Menyerang di segala tempat. Tidak pandang bulu. Setelah saya pikirkan kembali, ternyata ada satu kesamaan. Komik tersebut lebih tebal halamannya dari komik sejenis Asterix dan Obelix atau Smurf. Bukan komik dengan gambar berwarna. Lebih kecil seperti buku saku. Lebih praktis membawanya kemana pun. Komik Jepang.

Virus menyerang
Kegemaran membaca sejak kecil membuat saya haus akan buku. Salah satu cara menyiasati kurangnya modal adalah meminjam. Sayangnya meminjam di perpustakaan kurang menyenangkan bagi saya. Kurang lengkap. Terutama buku-buku bacaan ringan seperti buku cerita. Jenis buku yang saya sukai. Alternatif lain adalah menjadi anggota penyewaan buku.
Ketika kuliah, tempat penyewaan buku tempat saya menjadi anggota, banyak menyewakan buku jenis komik Jepang. Awalnya saya kurang tertarik. Tapi seringnya bolak-balik tempat penyewaan membuat saya meliriknya. Teringat kedua teman yang berperilaku menyimpang gara-gara komik Jepang.
Sebuah judul menarik perhatian. “Topeng Kaca.” Buku tersebut berseri. Saya memutuskan untuk meminjamnya. Hanya 1 buku. Buku nomor pertama. Hanya mencoba membacanya. Tergerak karena penasaran. Apa yang menarik dari komik Jepang? Apa yang membuat kedua teman saya suka terbahak-bahak sendiri? Apa yang membuat mereka lebih memilih komik ini daripada hal lainnya?
Saya tidak menyangka virus itu akan menyerang saya. Saya pikir saya cukup kuat menangkis segala serangannya. Ternyata saya salah. Saya terkontaminasi virus tersebut. Hanya dalam tempo singkat, buku pertama Topeng Kaca habis saya lahap. Saya menjadi tidak sabar untuk membaca kelanjutannya. Saya juga menjadi mirip kedua teman saya. Senyum-senyum sendirian ketika membacanya. Tertawa. Juga terbahak-bahak. Saya terhanyut dengan jalan ceritanya. Kadang saya juga suka mengangguk-angguk sendiri. Kadang mata saya berlinang-linang. Kadang saya berbicara sendiri.
Saya bela habis-habisan untuk segera menyelesaikan komik demi komik. Menjadi tidak perduli dengan sekitar. Masa bodoh. Akibatnya saya sering mendapat amarah ibu saya. Berantem karena rebutan dengan kakak. Terlambat makan. Malas melakukan hal lainnya. Kerjaan sehari-hari membaca komik.

Komik Jepang Manga
Menurut pengamatan saya, komik Jepang terbagi tiga. Bacaan untuk laki-laki, bacaan untuk perempuan dan bacaan untuk anak-anak ataupun segala usia. Masing-masing juga memiliki jenis yang berbeda-beda. Untuk kaum pria, biasanya seputar seri olahraga, seri beladiri, dan seri sejarah Jepang. Untuk perempuan, biasanya berupa seri percintaan dan seri horor/misteri. Sedangkan seri untuk anak atau pun segala umur biasanya berupa humor dan kepahlawanan.
Gambar komik Jepang bisa membuat tersihir. Guratan mimik wajah dapat tergambar dengan baik. Pembaca bisa mengerti apa yang dimaksud oleh mimik wajah si tokoh. Begitu detil.
Menariknya, komik Jepang tidak hanya sekedar cerita bergambar. Namun terkandung berbagai nilai-nilai sosial di dalamnya. Kita bisa mendapatkan pengetahuan-pengetahuan baru. Sejarah Jepang, kehidupan masyarakat Jepang, kultur dan budaya Jepang. Bahkan dalam komik anak-anak seperti Sinchan. Ingatkah Sinchan ketika akan berangkat dan pulang sekolah? Mama dan papa Sichan tidak mengantar ke sekolah. Ia naik bis bersama teman-teman ataupun berjalan kaki ramai-ramai ketika pergi ke sekolah. Kecuali bila Sinchan tertinggal bis, mama Misae akan mengantarnya. Hal itu memang ada dalam kehidupan sosial masyarakat Jepang. Seperti yang diceritakan oleh Hani Yamashita dalam buku Japan Aftershock karangan Hani Yamashita dan Junanto Herdiawan. Sejak kecil anak-anak di Jepang telah terbiasa untuk berangkat sekolah tanpa orangtua menemani.Kutipan di halaman 63 buku ini : Setiap hari anak-anak Jepang berjalan kaki menuju ke sekolah masing-masing.

Mengapa kita harus menjauhi komik Jepang?
Komik Jepang membuat kita ketagihan. Ketagihan untuk membacanya. Ketagihan melihat gambar-gambarnya. Ketagihan untuk tertawa-tawa karena kelucuannya. Ketagihan akan filsafat dan norma kehidupan di dalamnya. Ketagihan itulah yang menjadi virus.
Membaca komik Jepang bisa membuat kita terserang penyakit. Penyakit demam untuk membaca lagi dan lagi. Bagi yang tak ingin tertular, sebaiknya jauhi komik Jepang. 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline