Lihat ke Halaman Asli

[Untukmu Ibu] Sepucuk Surat untuk Ibu

Diperbarui: 24 Juni 2015   03:39

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

440. Tri Nugraheny, YBM

Ibu..

Sayup kudengar alunan lagu dari rumah tetangga. Lagu dari penyanyi cilik Nikita.“Di doa ibuku..namaku disebut”. Kudengarkan lagi lagu itu dengan saksama… Aku meresapkannya dalam kalbuku. Dan aku ikut berdendang.

Di sore hari nan sepi... ibuku bertelut
Sujud berdoa ku dengar namaku disebut
Di doa ibuku, namaku disebut
Di doa ibuku dengar ada namaku disebut....
Ada namaku disebut…

Ibu,

Hanya sebait itu yang bisa kunyanyikan. Sebait lagu itu mengingatkanku akan engkau, Ibu. Aku memang tidak bisa menerapkan semua lirik lagu itu dalam hidupku.. Karena memang tidak demikian yang kulakoni.. Tentunya, yang sesuai dengan keadaanku....

Ibu,

Kala itu, kulihat engkau melipat tanganmu.. Kudengar lantunan lirih doamu. Engkau berdoa dengan khusyuknya..Kudengar namaku disebut.. Seperti lirik dalam lagu itu..Aku juga mendengar semua nama disebut.. Permohonan untuk Bapak dan kakak..Untuk keluarga ini..Terima kasih, Ibu...Taklupa juga engkau menggumamkan.. Sebait rasa syukurmu kepada Tuhan..Atas rejeki yang Tuhan berikan.. Atas pernyertaan serta pertolongan Tuhan pada keluarga ini. Betapa jasamu yang luar biasa bagi hidupku. Betapa keras perjuanganmu.. Hanya untuk aku dan keluargamu

Ibu…

Walau aku tidak bersamamu sewaktu kecil…Namun, aku tetap merindukan belaianmu.. Berpindah tempat menjalankan tugas.. Mungkin itu yang menjadi alasan.. Engkau titipkan aku dan kakak pada nenek. Hingga kami nyaris tidak mengenalmu dengan baik.. Nenek dan tante yang mengasuh kami..Waktu itu, rindukah engkau pada kami, Ibu?

Kami besar tanpa pendampinganmu.. Kami berkembang tanpa engkau di samping kami.. Kami menghabiskan banyak waktu tidak denganmu.. Bahkan, mungkin kami lupa akan engkau. Hanya sebulan sekali kita bertemu. Jujur, aku tidak pernah menangisimu ketika engkau berpamitan. Lambaian tangan perpisahan hanyalah ungkapan yang biasa. Tidak pernah aku menangis mencarimu. Itu yang kudengar dari nenek.

Bukan engkau yang ada ketika kami belajar.. Kami bertanya tidak kepadamu.. Kami tumbuh dan berkembang tidak denganmu.. Tapi, ada satu hal yang tidak pernah kami lupa.. Kami, anak-anakmu ada karena buah cinta. Kami lahir dari rahimmu..Kami lahir dengan perjuanganmu melawan maut.. Kami ingat itu, Ibu. Mungkin sepuluh tahun lebih aku tidak bersamamu. Sepuluh tahun lebih aku tanpa belaianmu.. Ketika bangun, takkudapati engkau di sisiku.. Hanya guling dan bantal yang menemaniku..

Aku tidak menyalahkanmu.. Sosokmu yang gagah perkasa.. Membantu Bapak menafkahi kami demi masa depan. Untuk menghidupi tiga anakmu.. Engkau datang setelah sepuluh tahun meninggalkanku..Semula, aku merasa engkau bagai orang asing di depanku..Aku merasa lebih dekat dengan nenek dan tante yang mengasuhku..Dan orang-orang yang menemaniku tiap hari..

Perlahan tapi pasti aku mulai mengenalmu..Pribadi yang seutuhnya.. Sosok ibu yang sebenarnya. Yang penuh dengan suara alias cerewet. Hari-hariku serasa baru denganmu, Ibu..Kubuka lembaran baru denganmu..Hari-hari penuh keceriaan dan suara denganmu..Engkau, Bapak, kedua kakak, dan aku. Bersatu sebagai keluarga utuh..Mengarungi lautan kehidupan bersama

Ibu,

Tiba saatnya aku pergi..Menempuh pendidikan yang lebih tinggi..Sekarang, aku meninggalkanmu..Tapi, aku pergi untuk kembali. Aku kembali seminggu sekali.. Kadang, tiga hari sekali.. Itu karena aku merindukanmu.. Aku ingin selalu bersamamu. Aku rindu belaianmu.. Aku rindu omelanmu…Aku rindu teriakanmu.. Aku rindu semuanya.. Aku memang bandel.. Kadang, aku tidak mengindahkan nasihatmu..Aku asyik dengan duniaku.. Tapi, engkau selalu mengingatkanku.. Aku memang bandel. Kadang aku bertingkah semauku, tanpa mempedulikan nasihatmu.

Pagi itu aku berangkat kuliah.. Engkau berikan nasihat agar aku berhati-hati. Taklupa engkau memberiku sekardus roti untuk teman-temanku. Aku memacu laju kendaraan sekencang mungkin.. Tidak kuindahkan nasihatmu. Maafkan aku yang tidak mempedulikan nasihatmu. Sampai akhirnya peristiwa itu tak terelakkan.. Aku menabrak pengendara sepeda.. Orang itu tidak apa-apa.. Seonggok sepeda tua yang menjadi korbannya. Sepeda itu sudah menjadi sebentuk angka delapan. Tapi, aku menjadi korbannya.. Tangan patahku.. Otakku mengalami bengkak.. Hilang ingatanku.. Badanku lebam. Motorku rusak parah.

Ibu,

Aku taksadarkan diri.. Aku dibawa ke rumah sakit untuk mendapatkan perawatan.. Kecelakaan yang hampir merenggut semua ingatanku. Amnesia sesaat. Itu menjadi momok yang menghampiriku. Tapi, dengan penuh kasih sayang engkau dan keluarga merawatku.. Tiap malam engkau menemaniku.. Aku yang terbaring lemah.. Dengan pikiran kosong.. Tapi, engkau selalu ada di sampingku.. Engkau mencoba mengingatkanku.. Menguras memori yang sudah lama terpendam.. Demi mengembalikan ingatanku.. Dan, kau selalu ada di sampingku, Ibu.. Mungkin orang mengira aku hilang ingatan.. Mungkin benar.. Aku tidak mengenali diriku sendiri..Bahkan, aku bertingkah di luar kebiasaanku..

Ibu,

Banyak cerita lucu yang terjadi ketika aku sakit… Ketika aku terbaring tanpa benak… Naik turun lift rumah sakit.. Bahkan, keseharianku menjadi asisten dosen juga kuperagakan.. Seseorang bercerita kepadaku.. Tentang tingkahku memberikan gulungan kertas kepadamu.. Aku mengatakannya sebagai hasil penelitianku.. Aku mendengar, engkau hanya tersenyum pahit

Aku tahu, itu adalah hal yang bodoh.. Tapi tidak bagimu, Ibu Engkau menerimanya dengan suka.. Dengan tatapan penuh harap atas kesembuhanku.. Kalau aku mendengar cerita-cerita itu.. Menerangkan kepada mahasiwa tentang praktikum.. Memberi catatan pada teman.. Aku hanya bisa tertawa.. Aku juga diberi tahu.. Aku bicara seperti orang mabuk dan berceramah ini itu.. Tapi, hanya satu yang mendengarkanku.. Itu adalah engkau…

Ibu,

Engkau tidak ingin kehilangan aku.. Anakmu yang bandel.. Maafkan aku, Ibu. Hampir 2 minggu aku terbaring.. Selama itu aku meracau.. Tidak jelas aku bercerita.. Tapi, engkau setia menjadi pendengarku… Dengan setia engkau meladeniku.. Aku yang tetap bandel. Tidak mendengarkan engkau.. Apa karena aku sedang hilang ingatan?

Lagi-lagi aku mendengar cerita.. Tentang kebodohanku waktu sakit.. Tentang kekonyolanku… Dan, engkau hanya tersenyum menanggapinya… Engkau pendengar setiaku.. Semua alunan kata dari mulutku.. Juga semua ceramahku.. Sekali lagi, engkau hanya tersenyum…

Hanya engkau yang mau mendengarkanku. Hanya engkau yang tidak menertawaiku.. Hanya engkau yang sabar meladeniku. Walau takpernah kupinta.. Engkau selalu ada di sisiku.. Menemaniku dalam sakitku..Terima kasih, Ibu.

Betapa engkau dengan sabar membimbingku.. Mengarahkan demi kembalinya ingatanku. Segala cara engkau lakukan demi kesembuhanku… Tak pernah kubayangkan keletihanmu.. Pagi buta engkau meninggalkan rumah sakit untuk berangkat kerja. Siang engkau bekerja. Sepulang kerja, engkau menempuh perjalanan berpuluh-puluh kilometer agar engkau ada di sampingku.. Aku terharu, Ibu.

Ibu..

Walau semua mata memandang sinis.. Tidak percaya aku akan kembali seperti semula.. Namun, engkau selalu memberi semangat..Terima kasih, Ibu. Di tengah keterpurukanku saat itu. Engkau dengan sabar membimbingku. Engkau tetap memberi semangat untuk sembuh.. Engkau bangkitkan kembali memoriku satu demi satu.. Kegigihanmu dan rentetan kata-katamu membangkitkan semangatku.. Ketelatenanmu memberi angin segar dalam hidupku.. Untaian kata-katamu membuka kembali memoriku.. Terima kasih, Ibu untuk semangat yang berikan.. Kuakui, engkau memang cerewet. Tapi, itu adalah salah satu cambuk untuk kesembuhanku.

Waktu berganti bulan.. Sedikit demi sedikit aku mulai ingat siapa diriku.. Pecutan semangat darimu membongkar semua ingatanku.. Sungguh, itu sangat luar biasa..Ketika itu aku bisa mengenali siapa diriku.. Aku mulai belajar lagi lingkungan dan sekitarku.. Kenangan masa lalu mulai muncul.. Terima kasih untuk semuanya itu, Ibu. Perlahan teman-temanku mendekat.. Mengingatkanku akan aktivitasku.. Bercerita, bercengkerama, berbagi canda.. Itu karena ajakanmu pada temanku… Merak bercerita tentang keonyolanku. Kebodohanku. Kedunguanku. Tapi, engkau hanya tersenyum dan tidak menanggapinya.

Aku bisa kembali ke duniaku… Mendapatkan kembali apa yang kucita-citakan.. Meraih mimpi demi masa depan. Itu semua karena jasamu, Ibu. Aku senang sekali.. Ingatanku mulai pulih.. Aku sudah sembuh.. Aku sangat terharu…Sedemikian cintamu padaku..Anakmu yang seringkali membenani pikiranmu. Dengan segala macam tingkah lakuku.. Terima kasih banyak, Ibu.

Ibu..

Dengan keriput halus yang bertaburan.. Ah, engkau tetap cantik, Ibu.. Dengan senyuman yang selalu tersungging di bibirmu.. Kini kami sudah besar.. Semua anak-anakmu sudah berkeluarga.. Masing-masing mempunyai kesibukan.. Hingga kami melupakanmu..

Maafkan aku jika aku melupakanmu.. Maafkan aku yang jarang menengokmu.. Maafkan aku yang kurang memerhatikanmu.. Dengan seribu satu macam alasan yang kubuat.. Aku ingin senantiasa berada di dekatmu.. Menolongmu jika kesusahan.. Membantumu bila memerlukanmu..

Di usia senjamu.. Engkau yang tetap gagah hingga hari ini.. Tetap kuat menjalani hidup.. Tetap setia mendampingi keluarga.. Tetap telaten merawat Bapak yang sakit.. Takkan kulupkan kegigihanmu.. Ketelatenanmu.. Omelanmu ketika marah.. Tetap kuingat dan kukenang sampai hari ini.

Ibu,

Di Hari Ibu ini.. Kuucapkan selamat.. Walau tiada kado yang kuberikan.. Namun, hanya doa yang kupanjatkan..Tetaplah menjadi panutanku.. Tetaplah menjadi pembimbing di hidupku.. Biarkan tanganmu tetap menggandengku.. Agar aku tidak tersesat.. Selamat Hari Ibu.. Peluk cium dari anakmu dan cucumu (yang juga bandel).. Kami mencintaimu, Ibu.. Muaahhhhhhhhhhhh..

Untuk membaca karya peserta lain silakan menuju akun Fiksiana Community dengan judul: Inilah Hasil Karya Peserta Event Hari Ibu.

Silakan bergabung di FB Fiksiana Community




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline