Lihat ke Halaman Asli

Monorel, Potret Buram Transportasi Publik

Diperbarui: 25 Juni 2015   02:46

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

13427503911019826846

[caption id="attachment_195167" align="aligncenter" width="576" caption="Monumen Monorel"][/caption] Tiang-tiang itu seakan terdiam menyapa tiap warga yang melintas di depannya. Hanyalah tertempel poster-poster atau spanduk-spanduk iklan sebuah produk ataupun info konser artis luar negeri untuk menambal besi-besi karat yang masih menempel di rangka beton tiang, mungkin maksudnya selain ajang promo produk, bisa juga untuk menutupi kesan bahwa "benda-benda" ini usang. Jika anda melintas di jalan Asia-Afrika dan HR Rasuna Said, Jakarta Selatan, pastilah melihat tiang-tiang beton yang berdiri gagah, berjejer. Tiang-tiang tersebut bukanlah patung, monumen atau tugu yang biasa didirikan sebagai bentuk peringatan terhadap seseorang atau peristiwa yang dianggap penting. Bukan juga  bertujuan untuk "mempercantik" kota. Tiang-tiang tersebut adalah peninggalan sebuah proyek yang ditujukan untuk kepentingan masyarakat. Penggunaan istilah "monumen" terlintas ketika saya menonton tayangan Indonesia Lawyer Club (ILC), berjudul "Foke vs Jokowi," pada Selasa, 17 Juli 2012, ketika pembawa acara Karni Ilyas menanyakan perihal kelanjutan program Monorel di Jakarta. "Monorel itu kayanya sekarang menjadi monumen nasional juga lama-lama Pak?" tanya Karni terhadap Fauzi Bowo alias Foke. Dengan memakai berbagai macam jurus, sang Gubernur mengelit. Masalah kemacetan di Jakarta seperti tidak ada solusinya. Kemacetan sepertinya sudah hal yang wajar dan biasa, layaknya harga-harga sembako yang naik menjelang bulan puasa. Kemacetan sepertinya sudah lazim turun menurun dari generasi ke generasi tanpa ada jawaban. Salah-menyalahkan antara Pemerintah Pusat dengan Pemerintahan Provinsi (Pemprov) DKI Jakarta begitu kentara. Pusat menyalahkan Pemprov, karena beranggapan itu domain-nya Pemprov yang berwenang penuh untuk mengatasi masalah di daerahnya. Sebaliknya, Pemprov menyalahkan Pusat dalam mengatasi kemacetan, karena melibatkan pihak lain yakni pemerintah pusat. Dan lagi-lagi kita hanya bisa terpana tidak berdaya menyaksikan perdebatan kusir itu. Harapan Punah Ingatan saya kembali ke saat kuliah dulu kalau membicarakan Monorel. Tepatnya, memasuki tahun kedua perkuliahan, pada tahun 2003. Pada tahun tersebut Pemerintahan Provinsi (Pemprov) DKI Jakarta mulai membangun Mass Rapid Transit (MRT) untuk mengatasi kemacetan. Model transportasi MRT yang dipilih adalah Monorail atau lebih dikenal Monorel, berbentuk kereta yang direncanakan berjalan di atas sebuah rel yang menggantung di atas jalan layang. Waktu itu pengagasnya adalah Gubernur Sutiyoso dengan wakilnya, yakni petahana sekarang Fauzi Bowo. Saya sangat antusias mengikuti proyek ini berjalan, bukan karena lokasinya yang kebetulan dekat dengan kampus saya di bilangan Jl. Hang Lekir, Senayan. Namun harapan untuk melihat kota Jakarta tercinta bebas macet dan sejajar dengan kota-kota maju di dunia, atau paling tidak sejajar dengan kota-kota negara tetangga seperti Kuala Lumpur akhirnya segera terwujud. Membayangkan jalan-jalan, beraktivitas dan bekerja di kota tercinta dengan Monorel benar-benar mengasyikkan. Jalan-jalan bersama keluarga, belanja dari mall ke mall lain, melihat pemandangan kota Jakarta dari kereta yang menggantung sungguh sangat menyenangkan. Selain untuk mengatasi kemacetan, Monorel juga bisa digunakan untuk kegiatan pariwisata. Namun angan tinggalah angan, hingga lulus kuliah pada tahun 2006, mulai bekerja, sudah ganti Gubernur dua kali, hingga saya menikah dan mau mempunyai momongan di tahun 2012 ini, Monorel tetaplah tiang pancang. Monorel tetaplah rongsokan besi tua usang, tidak ada perubahan signifikan terhadapnya. Kebutuhan MRT Sangat Mendesak Mass Rapid Transit (MRT) adalah sebuah model transportasi publik yang mampu mengangkut penumpang dalam jumlah yang besar, bertujuan untuk mengatasi kemacetan, biasanya jenis transportasinya berbentuk kereta, karena bisa mengangkut jumlah penumpang yang besar. Kebutuhan akan MRT di kota-kota besar dunia sudah merupakan keharusan. Tengok saja kota-kota besar di Asia seperti Seoul, Tokyo, Shanghai, Singapura bahkan Kuala Lumpur pun sudah mempunyai MRT yang canggih seperti kereta bawah tanah (subway) ataupun Monorail. Warga di kota-kota tersebut enggan menggunakan kendaraan pribadi karena berbagai alasan, seperti: harga bensin yang mahal, pajak kendaraan yang tinggi, tarif parkir yang mahal dan adanya Electronic Road Pricing (ERP) yang dikenakan di jalan protokol. Bahkan Wali Kota Seoul, Lee Myung Bak, pada tahun 2003 sampai rela menghancurkan jalan layang tol karena dianggap tidak efektif mengatasi kemacetan. Pembangunan jalan raya juga bukanlah solusi tepat karena hanya bersifat jangka pendek. Pembangunan jalan juga akan merangsang masyarakat untuk menggunakan kendaraan pribadi terus. Tingginya jumlah kendaraan yang melintas di jalan merupakan penyebab utama kemacetan di kota-kota besar di Indonesia. Pemerintah juga selalu berdalih meminta kesadaran terhadap warganya untuk menggunakan angkutan umum dan meninggalkan kendaraan pribadi untuk mengatasi macet, namun pelayanan angkutan yang disuguhi jauh panggang dari api. Angkutan umum yang tersedia jauh dari kriteria nyaman, aman, cepat dan tepat waktu. Belum ditambah dengan kasus-kasus penodongan hingga pemerkosaan yang terjadi di angkutan umum. Kemauan kuat dan konsisten dari pemerintah untuk membangun MRT adalah kuncinya. Saya tidak melihat ada kemauan kuat dan konsisten dari pemerintah dalam mengatasi kemacetan. Kalau hanya mengandalkan kesadaran masyarakat sangatlah tidak tepat, karena dari dulu juga masyarakat sudah sadar, bahwa cara mengatasi kemacetan di Jakarta yakni "naiklah kendaraan pribadi," karena terbukti lebih praktis, cepat, aman dan murah. Rencananya pada tahun ini pemerintah akan membangun MRT Tahap I yang menghubungkan Lebak Bulus sampai dengan Bundaran HI sepanjang 15,2 kilometer dengan 13 stasiun (7 stasiun layang dan 6 stasiun bawah tanah). Ditargetkan mulai beroperasi pada akhir 2016. Mari kita dorong dan pantau perkembangannya. Ya, mudah-mudahan saja tidak menjadi monumen berikutnya. Cukup satu monumen Monorel saja yang menjadi tumbal, menjadi pengingat kita sebagai potret buram pelayanan transportasi publik yang terbengkalai dan agar tidak terulang di kemudian hari. Wasalam. Selamat berpuasa. Courtesy image of  foto Antara




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline