Ada sebuah kisah seorang kaya yang sibuk, datang kepada seorang guru spiritual. “ Guru ajarkan padaku bagaimana aku bisa mendapatkan kedamaian hidup.” Jawab sang guru, “ Baiklah, aku akan mengajarkanmu dengan satu kata saja karena kamu sungguh sibuk. HENING.” Lalu jawab si orang kaya yang sibuk itu. “ Bagaimana caranya agar aku bisa HENING?” Jawab sang Guru, “ MEDITASI.” “ Bagaimana caranya agar saya bisa bermeditasi ? “ Jawab sang Guru lagi, “ HENING”.
Damai atau kedamaian sesungguhnya bersifat personal, sebab berhubungan dengan hati/batin. Untuk sampai pada pemahaman batin kita, kita harus melewati keheningan. Setelah sampai di kedalam batin, kita baru bisa mengolah untuk menjadi damai. Maka semua usaha untuk mencapai itu bersifat personal. Karena sifatnya personal, cara untuk mencapainya juga khas. Cara si A belum tentu cocok digunakan si B demikian juga sebaliknya. Karena berhubungan dengan batin/hati, usaha untuk menemukan kedamaian selalu memerlukan jalan ’ ke dalam’ diri pribadi. Untuk menemukan jalan ‘ke dalam’ diperlukan olah batin personal melewati kesendirian. Kesendiran itu mutlak harus dilewati. Ada guru atau pembimbing spiritual yang bisa memberitahu jalannya, tetapi ia tidak pernah bisa ‘masuk’. Ia hanya menunjukkan. Kita sendirilah yang harus berjalan dan menemukan dan melewati. Sendiri!
Maka kita mengenal berbagai cara dilakukan untuk sampai pada Damai. Ada yang bertapa di tempat yang sunyi di tengah hutan, seperti yang dilakukan oleh beberapa nenek moyang kita. Bukti hal itu, kita bisa menemukan petilasan – petilasan untuk bertapa di beberapa tempat di negeri kita ini. Ada juga yang menyepi di tempat – tempat ibadah yang sunyi. Ada yang mendaraskan doa pada heningnya malam yang larut. Usaha – usaha itu dilakukan untuk mendukung penemuan ‘jalan ke dalam’ . Itulah Aksi untuk sampai pada Damai.
Damai itu suatu keadaan batin. Apa yang terjadi secara lahir, tidak selalu sama dengan batin. Bisa iya bisa tidak. Ada orang yang berselisih, berbeda pendapat tetapi batinnya tidak diliputi dendam dan benci, maka ia bisa tetap damai. Ada orang yang menderita sakit, tetapi dia bisa sampai pada penerimaan diri, maka dia tetap damai.
Ada kisah dua sahabat. Mereka sudah puluhan tahun bersahabat dan tidak pernah bertengkar. Maka berkatalah yang satu kepada yang lain. “ Sudah puluhan tahun kita bersahabat dan kita tidak pernah bertengkar. Mari kita bertengkar sekali saja.” Sahabatnya menjawab, “Baiklah, mari kita mulai. “ “ Kita mau bertengkar soal apa?” Tanya si yang satu. “hmmm… terserah saja.” “ Bagaimana kalau kita bertengkar soal bentuk tubuh kita? “ Tanyak lagi si sahabat. “Baiklah, aku setuju. Ayo kamu yang mulai!” pinta si sahabat satunya. “ Eh … sahabatku … apakah kamu selama ini tidak pernah merasa malu dengan dirimu. Lihat tubuhmu gendut, kulitmu hitam, hidungmu besar seperti badut, sungguh jelek kamu ini.” Olok si sahabat untuk memulai pertengkaran. Si sahabat hanya menatap dengan senyum sambil berkata, “ Benar katamu sahabatku. Aku gendut, kulitku hitam, hidungku besar menyeramkan seperti badut. Tetapi aku bangga dan bahagia dengan tubuh jelekku ini. Ini karunia Tuhan.” Mereka pun gagal untuk untuk bertengkar.
Damai itu personal. Damai itu keadaan batin. Maka ia tidak rusak oleh sesuatu yang berasal dari luar. Karena ia dicapai dengan proses personal, maka jika kedamaian bisa rusak juga oleh yang personal dan dari dalam. Maka mari kita menemukan sendiri ‘jalan ke dalam’, dengan aksi – aksi personal kita, agar kita sampai pada Damai dan tidak usah kawatir Damai yang kita temukan itu akan hilang dan rusak, karena tidak ada seorangpun yang bisa menghilangkan dan merusak Damai itu, kecuali kita sendiri. Selamat melakukan ‘Aksi’ untuk Damai.
*Sumber inspirasi tulisan dari buku Jalan Menuju Tuhan, Anthony de Mello.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H