Lihat ke Halaman Asli

Kaleidoskop 2014 JKN

Diperbarui: 17 Juni 2015   14:01

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Kesehatan. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Schantalao

Data Relawan Kesehatan Indonesia (Rekan Indonesia) menyatakan bahwa sejak mulai pelaksaan JKN 1 Januari 2014 hingga 30 November 2014 ada sekitar 1130 kasuspeserta yang terhambat pelayanan kesehatannya karena proses pendaftaran yang memakan waktu cukup lama di DKI Jakarta, Jawa Timur dan Jawa Tengah. Ada kurang lebih 500 kasus peserta yang harus membeli obat sendiri karena kekurangpahaman peserta (atau kekurangpedulian PPK?) terhadap mekanisme BPJS Kesehatan. Salah satu kasus yang menarik perhatian banyak pihak adalah kasus bayi 2 tahun yang meninggal dengan asumsi keterlambatan menerima pelayanan karena dilempar dari satu rumah sakit ke rumah sakit lain, selain bayi malang tersebut masih ada 257 kasus serupa di daerah DKI Jakarta saja. Data – data ini hanyalah data yang berhasil dikumpulkan dari peserta yang melapor, bagaimana dengan yang tidak melapor? Hanya Tuhan yang tahu.

Apabila melihat pada tingginya tingkat kepesertaan JKN pada tahun 2014, dari target 121,6 juta jiwa hingga Agustus sudah terdaftar 117 juta jiwa dengan estimasi pertambahan 20 ribu peserta baru tiap harinya, bangsa Indonesia sudah sangat antusias terhadap reformasi kebijakan dunia kesehatan ini. Pertanyaannya, sudah siapkah sistem pelayanan kesehatan kita menghadapi animo masyarakat yang setinggi ini?

Sudah cukup banyak PPK yang dikontrak oleh BPJS Kesehatan, tak hanya rumah sakit tapi juga dokter keluarga dan klinik. Tapi tampaknya itu belum cukup untuk menghadapi demand dari peserta. Antrian yang panjang menjadi pemandangan yang jamak kita temui bersama di rumah sakit. Berdasarkan temuan lapangan DJSN, badan yang bertugas melaksanakan monitoring dan evaluasi program JKN, antrian yang mengular di rumah sakit merupakan salah satu dampak dari kurang pahamnya pihak penyedia layanan primer akan 155 daftar diagnosis yang seharusnya ditanganinya dan bukan dirujuk. Menurut angota DJSN, Subiyanto hal ini yang menyebabkan tingginya rujukan ke rumah sakit sekitar 20-40%. Fenomena ini Saya pernah mengalami ketika berobat rawat jalan di salah satu rumah sakit tipe C, butuh sekitar 4 jam mulai dari proses mendaftar hingga selesai mendapat pemeriksaan. Ada beberapa pasien yang bahkan hampir menghabiskan waktu setengah harinya untuk mengantri saja. Tentu saja untuk pasien yang punya banyak agenda sulit beradaptasi dengan sistem semacam ini. Sehingga tak sedikit pasien yang memilih untuk mengeluarkan biaya sendiri untuk mendapatkan pelayanan yang dibutuhkannya.

Temuan lapangan DJSN juga menguak bahwa belum semua rumah sakit melaksanakan isi MoU yang telah disepakati bersama dengan BPJS Kesehatan, sehingga dapat terjadi penolakan pelayanan kesehatan dengan alasan tidak dijamin oleh rumah sakit yang bersangkutan atau sesederhana masih ada penarikan biaya kepada pasien. Salah satu masalah yang cukup saya khawatirkan adalah sinkronisasi aneka jaminan yang sebelumnya telah ada (dan menyusul ada) setelah JKN diberlakukan. Jamkesda dan jamkesmas yang selama ini menjamin pelayanan kesehatan bagi warga kurang mampu seharusnya sesuai dengan peraturan yang ada langsung menjadi daftar PBI (Penerima Bantuan Iuran) yang artinya berbekal kartu yang semula dimilikinya saja ia tetap dapat berobat gratis karena pembayaran iurannya ditanggung pemerintah. Akan tetapi masih ada peserta yang kurang tahu dan akhirnya menceburkan diri dalam lamanya proses pendaftaran JKN. Dari segi PPK juga masih ada yang ikut menyesakan peserta dengan meminta ia berganti kartu (dengan proses pendaftaran yang cukup lama) atau semudah menolak dengan alasan sudah menggunakan era JKN. Permasalahan yanglebih membahayakan dan lagi-lagi mengorbankan kepentingan warga untuk mendapatkan akses pelayanan kesehatan adalah belum semua kabupaten/kota mengintegrasikan jamkesdanya dengan JKN. Akibatnya, anggaran yang semula ditujukan untuk budgeting jamkesda yang seharusnya sejak JKN berlaku diubah menjadi anggaran untuk perbaikan maupun penambahan fasilitas kesehatan, belum berubah menurut Subiyanto.

Kiranya sudah cukup kita menyoroti lubang – lubang dari JKN maupun BPJS Kesehatan itu sendiri sebagai bahan penyelenggara. Asuransi sosial merupakan reformasi kesehatan yang pro rakyat, termasuk JKN dengan cita-citanya cakupan semesta 2019. Apabila kita coba membandingkan dengan beberapa negara yang telah menyediakan jaminan sosial bagi warganya, Indonesia masih dalam fase yang sangat muda dengan JKN-nya. Inggris, dengan NHS-nya yang memberikan jaminan pelayanan komprehensif bagi semua warganya di layanan tingkat primer, untuk mencapai fase saat ini Anda tahu sejak kapan Inggris berusaha menerapkan NHS? Sejak perang dunia (saya lupa kapan, anda dapat menonton film Sicko sebagai referensinya) meninggalkan Inggris dalam kondisi porak poranda dari segi ekonomi, pendidikan maupun kesehatannya, mereka memutuskan untuk memulai program jaminan sosial. Hasil indahnya baru dapat dinikmati setelah sekian lama kan? Lain Inggris lain pula Korea Selatan yang relatif cepat mencapai universal coverage dalam waktu 20 tahun dari tahun 1963-1989 akan tetapi badan penyelenggaranya saat itu belum terpusat pada 1 badan dan baru tercapai di tahun 2000-an. Contoh negara yang saat ini masih belum berhasil menyediakan asuransi sosial bagi warganya ialah Amerika Serikat, pasar asuransi disana masih dikendalikan oleh asuransi komersial sehingga biaya pelayanan kesehatan melambung tinggi, pemulangan paksa pasien yang kurang mampu di jalanan menjadi pemandangan yang tak asing (Tonton Sicko terkait hal ini).

Beberapa gambaran JKN ala masing-masing negara masih ampuh meniupkan angin optimisme bagi Indonesia bukan? Bahwa memang tidak mungkin kesempurnaan pelayanan kesehatan dapat teraih dalam 1 tahun saja. Butuh waktu yang panjang untuk menyediakan pelayanan kesehatan secara menyeluruh dan juga membutuhkan partisipasi dari berbagai pihak, mulai dari pemerintah, penyelenggara layanan kesehatan hingga kita sendiri sebagai penikmat layanan kesehatan. Memulai perubahan memang sulit, tapi saat ini Indonesia telah memulai langkah pembudayaan itu sendiri. Salah satu langkah sederhana yang dapat kita lakukan ialah memperkaya pengetahuan masing-masing akan peraturan pelaksanaannya, ingat bahwa salah satu ciri layanan kesehatan adalah asymetry information antara PPK dan pasien sehingga terjadi overutilisasi atau underutilisasi pelayanan kesehatan, mistreatment dan lain sebagainya. Untuk mengantisipasi hal itu kita sebaiknya dapat mengurangi asimetris informasi itu dengan memperbanyak pengetahuan, sehingga kita dapat menegur apabila menemui masih ada kesalahpahaman dalam pelaksanaan JKN yang dapat diakibatkan oleh sikap PPK sendiri. Apabila masalah-masalah diatas tidak diantisipasi kedepannya dan kita serahkan saja ke pundak BPJS Kesehatan, bisa – bisa cita – cita JKN sebagai asuransi sosial yang menjamin pelayanan kesehatan seluruh bangsa Indonesia dapat luntur dan ia tak ubahnya seperti asuransi komersial, hanya beberapa gelintir orang yang dapat menikmati manfaatnya. Tentu saja Anda tidak menginginkannya bukan?

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline