Lihat ke Halaman Asli

Loh Kok Pilih Single Mas? (Bule)

Diperbarui: 26 Juni 2015   17:34

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Kalau akhirnya perempuan bisa menggugat cerai dan memenangkan sebagian besar harta gono -gini dan  hak asuh anak serta membebankan tagihan pengasuhan anak kepada saya sementara saya tidak memiliki hak jenguk anak, untuk apa menikah?

Sekali lagi, otak saya lebih pilih wira-wiri diantara ide-ide tulisan yang menumpuk dan begitu menggoda, hingga menggangu konsistensi penulisan Semiologi Facebook. Ah, tapi apa daya, menjadi impulsif kadang -kadang menghibur penyakit bosan saya yang suka menghadang tiba -tiba.Jadi, yang saya dapat dari hasil wira -wiri beberapa hari ini, sebenarnya masih seputar soal yang itu -itu juga, yang terkait dengan peradabaan dan nilai dan norma sosial dan akhirnya mengimbas ke salah satu subjek yang menjadi fokus saya: perkawinan campuran.

Pertanyaan di atas, Loh kok pilih (masih) single to mas? ini saya tujukan kepada para mas-mas Bule tentunya. Tidak sengaja, kemarin saya menemukan beberapa artikel lepas yang di tulis ulang berdasar hasil studi para Doktor di Universitas Rutgers. Studi itu menitik beratkan pada fenomena yang melatar belakangi pilihan para lelaki barat untuk tidak menikah-meninggalkan pernikahan dan atau hidup bersama yang selanjutnya  kita gunakan istilah teknisnya yaitu "kohabitasi".

Studi tersebut mengungkap bahwa keputusan laki -laki tetap hidup menyendiri atau berkohabitasi, di karenakan ketakutan mereka akan potensi kegagalan rumah tangga (yang menurut mereka) tidak selalu  di sebabkan oleh ulah mereka sendiri ( ini harus kita kembalikan ke hukum alam, ketika lelaku selingkuh mereka tidak berpikir untuk cerai, namun perempuan bisa menjadikan selingkuh tsb dan seribu alasan lain bagi tuntutan perceraian). Mereka menyebut kasus ini sebagai proses "perceraian terpaksa", yang membuat mereka harus menderita tekanan finansial dalam jangka waktu yang lama akibat perceraian tersebut. Belum lagi resiko psikologis lainnya akibat berpisah dengan anak, misal.

Pada artikel serupa, di katakan bahwa feminisme lah yang dijadikan biang kerok penyebab perubahan norma sosial ini, meminjam bahasa seorang teman bule (laki-laki) saya, perempuan barat menjadi begitu maskulin, tidak bedanya dengan lelaki saja. Yaitu berubahnya pola pikir perempuan dari kehidupan rumah tangga dan tradisional (keluarga) ke kehidupan mandiri dna profesional. Para laki -laki tersebut menyebut perempuan -perempuan yang demikian sebagai pembenci laki-laki.  Penyebab berikut adalah, hukum lebih memihak perempuan di banding laki -laki dalam kasus perceraian, yang melibatkan pembagian harta gono-gini dan tanggung jawab material paska perceraian. Para lelaki tersebut melihat bahwa semua itu merupakan harga yang terlalu mahal bagi kehidupan mereka, sementara di lain pihak, karena prinsip feminisme dan kemandirian perempuan barat meningkat, seks bagi kedua belah pihak, mudah di dapatkan melalui gaya hidup "hooking up".  Dalam artikel lain di sebutkan, bahwa para perempuan yang melakukan "women studies", adalah mereka yang mengadvokasi kampanye "mari benci kaum adam'.

Lucunya, semua pengulas hasil studi Universitas Rutgers itu sepakat, bahwa ketika lelaki bule ingin menikah, atau berorientasi kepada kehidupan rumah tangga, saran mereka adalah sebaiknya mereka menikahi perempuan -perempuan di luar budaya mereka sendiri. Perempuan Amerika Selatan, Asia dan Eropa Timur, di sebut -sebut sebagai alternatif yang menjanjikan bagi pernikahan yang membahagiakan dan berkemungkinan kecil menimbulkan konflik "bara dalam sekam". Yaitu semacam konflik yang katanya umum terjadi dalam banyak pernikahan di Amerika. Yang bila saya interpretasikan, kira -kira konflik tersebut demikian: bersifat latent tanpa pernah mendapatkan kesempatan untuk di komunikasikan dengan baik, bahkan cenderung diabaikan. Namun begitu ada satu hal yang menjadi pemicu, maka konflik tersebut bisa di cuatkan kepermukaan dengan cara yang penuh agresi, yang dalam bahasa seorang kolumnis Baltimore Sun, Susan Reimer, di sebut sebagai "Marital war". Masing -masing pasangan mengungkit -ungkit segala kejadian yang telah lalu, menjelek-jelekkan, menuntut dan menuding, bahkan pada akhirnya membocorkan hal yang di rahasiakan oleh masing -masing pihak selama sekian lama pernikahan ( mungkin selingkuh, atau skandal bentuk lain). Dan ketika itu terjadi, pernikahan tidak menjadi sama lagi, seolah tidak ada kata kembali ke titik nol kecuali meneruskan ke perceraian.

Dalam keadaan yang demikian, para lelaki yang di survei tersebut berpendapat bahwa, hukum kemudian akan memihak perempuan apabila kasus tersebut di bawa ke pengadilan, dan mengakibatkan laki-laki kehilangan banyak hal dalam kehidupan rumah tangga yang telah di bangunnya bertahun -tahun. Bisa jadi, laki-laki memang berbuat salah, namun mungkin seharusnya tidak di hukum secara kejam dengan kerugian yang berulang kali, toh mereka selalu berniat untuk tetap meneruskan pernikahan kendati mereka khilaf. Namun perempuan  mungkin tidak memaafkan begitu saja.

Padahal, isu yang sedang menghangat di negara barat (Amerika) terutama adalah, tentang semakin langkanya generasi bule tulen yang menurut para bule itu sendiri merupakan ancaman bagi kepunahan ras mereka dan peradaban bangsa barat. Namun harus di apakan lagi, bila para perempuannya enggan memiliki lebih dari seorang anak? dan cenderung menghindari anak -anak karena di anggap mengganggu privasi? Tidak heran lonjakan statistik perkawinan campuran di Amerika dan negara Eropa umumnya, meningkat pesat, seiring dengan terjadinya percepatan trend krisis rumah tangga dari 7 year itch menjadi 4 year itch (kalau di artikan secara literal : 7 /4 tahun kegatalan rumah tangga/krisis).

Seorang penulis juga menasehatkan para lelaki muda Amerika untuk setidaknya jalan -jalan ke luar negeri terlebih dahulu sebelum memutuskan untuk menikahi gadis lokal mereka, sebab di luar negeri sono, katanya, banyak perempuan yang benar-benar hangat, penuh cinta dan feminin ( menerima peran dan tugas sebagai perempuan tanpa menyoalkan kesetaraan gender).

Tidak heran, pemerintah Indonesia berpikiran untuk menerapkan tarif bagi laki -laki asing yang ingin menikahi perempuan Indonesia (muslim), karena perempuan Indonesia memang komoditas yang baik serta menarik  bagi pembentukan suatu  pernikahan dan keluarga yang stabil. Tidak hanya itu, mengutip perkataan suami saya " Di Indonesia, perasaan di mana-mana banyak perempuan cantik", begitu kiranya. Kecantikan yang tidak semata -mata fisik, namun pada karakter kewanitaan yang pada umumnya masih mendominasi identitas perempuan di Indonesia-selama mereka tidak buru-buru terjun ke kancah perjuangan kaum feminis yang salah jalan sehingga menghianati kaumnya sendiri.




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline