Foto Facebook, antara paradigma dan sintaksis.
Sebagai sebuah komposisi pesan, norma dan struktur, foto memiliki kelas tersendiri dalam kemampuannya untuk menggiring orang memakanainya lebih secara paradigmatik dari pada sintaksis. Benar, sebagai sebuah komposisi dan struktur, foto memiliki efek sintaksis yang kuat ( namun membahas foto secara sintaksis lebih menjadi wilayah keahlian para fotografer barangkali) sedangkan wilayah pemaknaan secara paradigmatik, menjadi milik setiap homo significant. Karena kita menyukai potongan-potongan atau bagian -bagian tertentu dalam setiap hal, yang tentunya menarik perhatian kita entah karena karakter kita, pengaruh lingkungan, institusi nilai (misal baik, buruk, jahat dan baik atau sopan dan kurang ajar) sebagai bagian yang representative dalam memaknai hidup atau pesan secara paradigmatik. Sedangkan memaknai foto secara sintaksis memerlukan penggabungan setiap bagian yang mendukung komposisinya, dan seringkali memerlukan keahlian khusus.
Karenanya, kendati ketika feature lain belum hadir atau tidak terolah secara matang, feature foto telah menjadi menu wajib dalam Facebook. Feature ini setidaknya terbagi atas tiga kavling: kavling foto profil dan foto album serta kavling foto diri atau foto tagging( seharusnya empat, dengan tambahan foto yang digunakan dalam note atau catatan, namun saya tidak membahas bagian ini). Foto profil sangat menggantungkan keberadaannya melalui efek pencitraan. Dalam hal ini, sebenarnya analisis sintaks lebih tepat pada foto profil, sebab foto profil lebih berfungsi sebagai konsumsi umum dan tidak membutuhkan keterlibatan emosi. Akan tetapi, FB Memiliki karakter khusus di mana setiap hal menjadi mungkin bagi penggunanya. Maka pemaknaan secara paradigmatik menjadi bagian penting dalam FB hanya oleh mereka yang telah mengenal dekat orang yang bersangkutan atau telah masuk dalam lingkungan internal orang tersebut (sudah di add menjadi kontak). Bagi si pengguna itu sendiri, Foto profilnya akan membentuk suatu karakter dari waktu ke waktu yang mewakili dominasi nilai, pemahaman orang tersebut akan hidup, atau kesadaran orang yang bersangkutan untuk mencitrakan dirinya sebagai siapa atau apa.
Yang lebih menarik dalam memaknai foto pada facebook adalah foto album. Kendati Facebook bersifat virtual yang berarti menggambarkan seseorang dalam bentuk yang tidak seutuhnya, tetap saja si pengguna membangun suatu pola menetap (berdasarkan kesukaan, kepentingan atau kebiasaan) dalam koleksi foto albumnya. Misal, ada satu kontak di FB saya yang berusia 12 tahun lebih muda dari saya dan memiliki 1000 lebih foto tentang dirinya (foto diri ber tag nama dia) yang mayoritas berlatar belakang pub atau bar, dengan pose dia sedang berdansa entah sambil memegang gelas minuman beralkohol, dan tentu saja dengan busana yang seringkali mengekspos bagian punggungnya atau belahan buah dadanya atau paha ke bawah. Diantara foto itu, dia tidak sendiri, kadang bersama teman-teman perempuan lain. Pada level gosip, pemaknaan ( proses konotasi) paradigmatik facebookers lain ternyata saling senada ( bisa di baca di tulisan pasar hook up atau pasar jodoh untuk memahami pemaknaanya). Dan mungkin ini yang membuatnya di jauhi teman wanita lainnya di sekolah. Tapi itu tidak separah foto -foto dari seorang anak gadis usia 17 tahun yang tampak berusia 35 tahun, berdansa di atas meja dengan sepatu berhak tinggi sambil minum wine ( ini bocoran dari salah satu murid yoga saya yang berusia sama, namun merasa terganggu dengan foto sang teman). Saya tanya si murid " apa yang ibunya bilang tentang perilaku si anak?" Dia bilang " Ah ibunya juga seperti pelacur". Duh!.
Jadi, analisis atau pemaknaan yang demikian secara alami akan terjadi di antara pengguna facebook berdasar pada tingkat kesukaan dan ketidaksukaan masing -masing orang dan seberapa besar masing - masing pengguna saling mengasosiasikan diri antara satu dengan lainnya. Misal, si A mengatakan " jangan pasang fotoku yang ada si B donk, kamu kan tahu aku nggak suka sama dia". begitu A menulis dalam inbox kepada C. Si C yang merasa asosiasi nya lebih dekat kepada A di banding B, menuruti kemauan A. Ini berlaku untuk foto yang di beri tag. Kadang tidak semua orang menyukai namanya di Tag, untuk faktor asosiasi ini. Asosiasi di maknai sebagai bagian dari pencitraan diri. Akan tetapi pada kasus pemaknaan secara menyeluruh (sintaks) Maka foto - foto tersebut akan membangun sebuah karakter atau pola perilaku, semacam kecenderungan yang mewakili nilai, kultur, visi atau pandangan hidup seseorang.
Misal, foto -foto model narsis.com yang terlalu mengekspos diri sendiri dalam bentuk pin-up atau close up dengan menampilkan bagian -bagian tubuh yang menjadi unggulannya atau memiliki makna penting dalam kehidupan seseorang. Atau foto -foto 'keroyokan' maksudnya foto bersama yang juga menampilkan karakter bahwa orang yang bersangkutan adalah sangat sosial atau untuk sekaligus menyiratkan efek 'name dropping' (liat donk, siapa di samping gue). Atau foto -foto berkelas intim, (bukan seronok loh ya) maksudnya menyiratkan tingkat kedekatan emosi dan prioritas kehidupan seseorang di antara objek-objek dalam foto seperti di antara suami-istri, kakak-adik, sepasang kekasih, sahabat termasuk pertemanan, juga ibu-buah hati. Semua menyiratkan makna dan karakter. Dan bila kita melihatnya dari pemaknaan paradigma, maka itu kembali ke kavling masing -masing individu dengan nilai-nilai yang di milikinya, latar belakang budaya, pendidikan dan pengetahuan , kesukaan dan ketidaksukaan, kecocokan dan ketidakcocokan, bahkan pergaulan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H