Lihat ke Halaman Asli

Semiologi Facebook (3): Status & Twitting

Diperbarui: 26 Juni 2015   17:44

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Hiburan. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Rawpixel

Dua analisis: sintaksis dan paradigmatik dan Interpretasinya

Sebenarnya, yang terjadi ketika sebuah pesan di interpretasi, adalah proses Denotasi atau Konotasi. Proses denotasi adalah memaknai secara harviah, dan proses konotasi adalah menginterpretasinya sesuai kapasitas individu (tacit knowledge-pengetahuan yang ada pada individu yang tidak di demosntrasikannya dan tidak di ketahui orang lain). Akan tetapi, dasar dari proses denotasi dan konotasi, adalah proses analisis pesan baik secara sintaksis (keutuhan wujud fisik sebuah pesan atau attribut pesan) atau paradigmatik, melihat pesan atas bagian -bagian tertentu saja, sesuai dengan kapasitas individu yang melakukan interpretasi.

Tidak mudah untuk menjelaskan serta membatasi dimensi ke dua jenis analisis dalam semiotik ini. Analisis sintaksis, yang secara mudah kita kaitkan dengan salah satu cabang dalam ilmu bahasa, namun, sebenarnya dalam bahasa Inggris di sebut sebagai analisis sintagmatik ( sayangnya, jika saya mengacu kepada definisi kata sintagma secara harviah, maka sulit bagi saya untuk menjelaskan konsep sintagma dalam semiotik). Selebihnya kata sintaksis yang menjadi acuan.

Status Facebook  dan analisis Paradigmatik

Seringkali, status di Facebook lebih cenderung di analisis secara paradigmatik untuk kemudian si interpreter ( pembaca status) bisa mendenotasi atau meng-konotasi nya. Kendati saya melihat kecenderungan yang signifikan antara proses analisis paradigmatik dan pengonotasian sebuah pesan, namun saya tidak yakin bahwa keduanya bersifat sebab akibat. Interaksi di Facebook pada level tertentu benar-benar membutuhkan ikatan emosi atau kedekatan, atau asosiasi atau 'something in common'. Sehingga, pengomentar status pada facebook seseorang, biasanya mereka yang telah melalui proses analisis paradigma dan pengonotasian sebuah pesan. Begitu juga sebaliknya, bagi yang membacanya namun tidak mengomentarinya, bukan berarti mereka tidak melakukan kedua proses serupa.

Bagaimana dengan Twitter?

Pada twitter, analisis paradigmatik dan konotasi sebuah pesan juga terjadi. Hanya saja, ikatan emosional di antara pembuat pesan dan pembaca pesan (interpreter) kadang tidak sedekat jejaring Facebook. Kecuali apabila si pembuat pesan tersebut telah berhasil melakukan branding atau imaging pada dirinya, yang dalam hal ini saya ambil contoh, twittingnya Mario Teguh yang dianggap menyerang sebagian orang. Bagaimana kita menganalisis pesan tersebut sebelum akhirnya mendenotasi nya atau meng-konotasinya?. Secara sintaksis, pesan yang berbunyi : “Wanita yang pas untuk teman, pesta, clubbing, bergadang sampai pagi, chitchat yang snob, merokok n kadang mabuk - tidak mungkin direncanakan jadi istri” dibuat sedemikian hingga  mengindikasikan emosi yang normal dan stabil dan tidak ada niat untuk menyerang ( ini kita lihat dari penggunaan tanda baca saja).

Bandingkan bila Mario Teguh menuliskannya dengan  membubuhkan tanda baca : ".......tidak mungkin di rencanakan jadi istri !!!!!!". Nah, format yang terkahir, mengindikasikan kalau beliau memang menginginkan kontroversi. Akan tetapi, sebagai seorang motivator, pastilah Mario Teguh memahami format tulisannya dengan baik. Di lain pihak, secara paradigmatik, melalui tes komutasi substitusi (sebagai cara untuk mengecek suatu komposisi pesan dalam analisis paradigmatik). Sekarang bila kita ganti kata "tidak mungkin" dalam pesan Mario Teguh dengan kata sulit ( .....sulit direncanakan jadi istri), atau kata 'di rencanakan' kita ganti dengan kata 'di jadikan', maka komposisi pesan berubah total menjadi " sulit di jadikan istri". Terjadilah perubahan berbagai makna dari penggantian paradigma pesan tersebut.

Dalam hal ini, pemilihan kata di rencanakan yang di gabungkan dengan kata tidak mungkin oleh Mario teguh mengandung sebuah konotasi proses yang seolah -olah menyatakan bahwa memikirkan ide menikahi para wanita yang demikian itu saja sudah merupakan langkah yang keliru, dan ketika proses perwujudan ide tersebut di ambil ( menikah) maka ada indikasi bahwa perkawinan tersebut akan bermasalah, dan ketika kedua belah pihak, terutama si wanita mencoba berubah, tetap hasilnya nihil.

Sedangkan frase "sulit di jadikan istri", mengindikasikan adanya kemungkinan pernikahan yang berhasil, kendati melalui usaha keras (seperti terapi dan perubahan karakter). Namun, kekuatann pesan Mari Teguh dalam twitting kontroversialnya itu justru terletak pada gabungan frase absolut "tidak mungkin' dengan kata di rencanakan.

Potongan lain dalam analisis paradigmatik, bisa kita lihat melalui proses denotasi dan konotasi melalui pilihan kata - kata " wanita", atau gabungan frase " wanita perokok" (dan lainnya). Denotasi pesannya jelas, siapa subjek yang kita bicarakan dan orang tidak menjadi naik pitam karena makna denotasi ini, namun, demikianlah sifat paradigmatik sebuah pesan yang konotasinya melampaui apa yang tercantum dalam teks tersebut. Sebagai contoh proses konotasi pesan Mario Teguh, yang di golongkan dalam jenis wanita -wanita tersebut bisa jadi mungkin Pelacur, atau mereka yang memiliki berbagai latar belakang dan motif, yang salah satunya bisa jadi merupakan modus operandinya untuk menggaet harta lelaki dengan menikah-bercerai. Atau bisa jadi mereka yang memiliki masalah dengan interaksi lawan jenis (promiscuity). Dan lain sebagainya. Sebab, konotasi sangat bergantung pada kapasitas pengetahuan, nilai dan norma serta latar belakang budaya orang yang melakukan proses konotasi tersebut. Sehingga tak heran, pesan Mario Teguh menuai kontroversi.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline