Lihat ke Halaman Asli

Ketika Aku Berumur Tujuh Tahun

Diperbarui: 25 Juni 2015   05:23

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Kulihat lagi peralatanku: sebilah pisau, gayung, dan tikar. OK, lengkap.  Kedua tali gantungan gulungan tikar kusandangkan di bahu seperti memakai ransel. Aku berjalan dengan mantap menuju padasan dibawah pohon Belimbing. Barangkali kamu nggak tahu, padasan itu adalah sebuah gentong setinggi kepalaku yang biasa digunakan untuk mengambil air wudu. Kucabut sumbat potongan karet sehingga air mengalir melewati lubang di bagian bawah gentong, mengisi gayungku perlahan-lahan. Kucelupkan pisau dalam gayung yang terisi setengahnya, lalu mulai menaiki menara air di seberang pohon belimbing dengan hati-hati.

Kuberitahu ya, aku sedang sangat marah. Tadi pagi, Aga mengataiku gembus. Kamu tahu apa itu gembus? Ya, semacam tempe, tapi lebih empuk sampai mirip tahu. Di kotaku, gembus merupakan olok-olok untuk anak yang kurang bisa memahami pelajaran. Aku tahu, di penerimaan rapor kemarin, peringkatku turun dari ranking 3 jadi ranking 46. Asal kau tahu saja, sekelasku itu muridnya hanya 48. Tapi bukan, bukan itu yang membuatku marah. Aku menutup pintu kelas saat Aga masih diluar, sehingga dia tidak bisa masuk kedalam. Aku tertawa. Seharusnya cukup seperti itu. Sayangnya, ada guru kelas empat yang lewat. Terpaksa aku membuka sedikit pintu kelas supaya tidak mencurigakan, sambil tetap menahan pintu kayu itu dari dalam. Saat aku masih menghalangi langkah Aga untuk masuk, tiba-tiba dia menghentakkan pegangan pintu dengan keras. Wrekkk… lengan bajuku robek terkait pegangan pintu. Tanpa pikir panjang kupasang kuda-kuda, kuraih kerah bajunya dengan tangan kiri, dan kepalanku melayang menghantam pipi kirinya. Brakkk… dia jatuh terduduk dibawah pintu.

Kulebarkan tikar secukupnya, menutupi sebagian genting dan talang air di kakiku. Kupilih tempat yang terlindung rimbunnya daun Belimbing. Kupetik sebuah mangga dari pohon tak jauh dari pohon Belimbing, kucuci dengan sedikit air di gayung, kukupas lalu kumakan ditempat. Hmm… manis! Segarnya buah mangga mulai meredakan amarahku. Selesai makan, kukembalikan pisau dalam gayung, lalu rebahan menikmati semilir angin. Aku tertidur. Sayup-sayup kudengar Embah memanggilku. Aku terkesiap. Waduh, sore ini pasti aku kena marah dobel. Pasti ada guru yang sudah nelpon ke orangtuaku masalah Aga, plus ketahuan aku naik genteng lagi. Buruk benar nasibku hari ini.

---

ditulis pada pertemuan Reading Lights Writer's Circle 12 Mei 2012 dengan tema "saat usia 7 tahun"

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline