Lihat ke Halaman Asli

Teh - Menunggu - Pergi

Diperbarui: 26 Juni 2015   01:25

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Sebatang teh kucelupkan di cangkir transparan yang berisi air panas nyaris kepenuhan ini. Ya, sebatang t-stick, bukan sebungkus teh celup biasa. Sedikit demi sedikit semburat merah kecoklatan meruap dari titik-titik lubang aluminium foil, dan mulailah tercium aroma wild berry. Dengan sabar kubiarkan airnya berubah warna, lalu mengaduknya dengan perlahan supaya merata. Tak apa, toh aku tak mengejar apapun. Kugigit macaron yang langsung meleleh dalam mulut. Hmm… ini yang paling kusuka dari café ini. Kulihat panel kedatangan, sebentar lagi. Bagi sebagian orang, menunggu memang menyebalkan. Orang lain, bukan aku. Stasiun kereta ini terlalu indah untuk hanya dilihat sambil lalu. Para komuter datang dan pergi dengan berbagai ritme, ada yang terburu-buru, ada yang santai. Nomor platform muncul di panel LCD, kupastikan itu kereta yang kutunggu. Berdoa, semoga pandanganku tak terhalang orang. Kereta itu pun datang. Tepat saat semua pintu terbuka, gerbong ketiga seperti biasa, muncullah dia. Ya, dia. Terlihat dengan jelas caranya merapatkan jaket, menyibakkan rambutnya yang gelap, dan ya.. matanya yang biru menatap ke arahku, tersenyum, dan berlalu pergi tanpa menunggu senyum balasanku. Kutelan gigitan macaron terakhir; kusesap kembali teh dalam cangkir. OK, lagi-lagi hanya sebuah senyuman. Ku tersenyum pada pelayan sambil memberikan sekeping uang tip. Baiklah, mungkin besok ku akan dapat lebih dari sekedar senyumnya.

Ditulis pada pertemuan Reading Lights Writers Circle (RLWC) 1 Oktober 2011 dengan menggunakan kata-kata 'teh' - 'menunggu' - 'pergi'.




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline