Lihat ke Halaman Asli

Smoke Gets in Your Eyes

Diperbarui: 25 Juni 2015   23:59

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Tadaaa.... saya akan mengecewakan pembaca yang berharap tulisan kali ini ada kaitannya dengan lagu "Smoke Gets in Your Eyes". Kalau itu yang kalian harapkan, silahkan klik tombol "back" di browser kalian, dan carilah cerita lain untuk dibaca. Cerita ini ditulis dengan tema yang di-generate secara random dari sebuah software di laptop Farida, salah satu member RLWC. Kira-kira temanya tentang rokok yang memegang peranan penting, dengan cara penulisan non verbal alias tidak boleh menggunakan dialog. Masih tertarik mau baca? Silahkan...

----------------------------------------------------------------------------------------------

Jarinya mengetuk-ngetuk meja dengan tak sabar, menunggu sesuatu yang tak perlu ditunggu. Disekitar kami ada beberapa orang, so-called-friends. Dia mengangkat gelas kosongnya, yang langsung diisi oleh sang pramusaji. Ini sudah yang ketiga kalinya. Matanya menatap iri kearah hembusan asap dari mulutku. Kuhisap dalam rokok-ku, kuhembuskan beberapa lingkaran, dan kutiupkan sisa asap menembus bagian tengah lingkaran-lingkaran itu. Dia mengerenyitkan dahi, aku tertawa. Kuhisap kembali rokokku, kukeluarkan asap dari mulut, kuhisap kembali asapnya dari hidung, lalu kuhembuskan semuanya, berkali-kali. Tanpa ku sengaja pun pasti membuatnya semakin iri.

Kawanku ini baru tiga hari berhenti merokok, tapi baginya terasa seperti tiga abad. Obat anti rokok yang dikonsumsinya sangat menyiksa, mulutnya jadi pahit, perutnya mual, kadang-kadang juga membuatnya berhalusinasi. Kami, his so-called-friends, tak ada yang peduli. Bukan kami yang mengajarinya merokok, jadi kami tak harus juga mendukungnya untuk berhenti, kan? Tak tega dengan penderitaannya, kuangsurkan sekotak rokok. Bukan kretek kesukaannya, hanya rokok putih berfilter dengan rasa menthol.

Dia menerimanya dengan ragu, membalik kotaknya lalu mengetuk-ngetukkan nya ke tangan. Diambilnya sebatang, dipijit-pijit. Bah, kebiasaan seorang perokok kretek. Tak akan ditemukannya batang tembakau keras disana. Matanya mencari-cari, kuangsurkan sebuah lighter. Tak segera dibakarnya, hanya diputar-putarkan di antara jari-jemari, dengan bantuan ibu jari. Kami, his so-called-friends, mulai menghentikan kegiatan kami, dan menatapnya penasaran. Diraihnya lighter, dimainkannya nyala-mati beberapa kali. Kami mulai mencibirnya. Dijepitnya filter diantara bibirnya, kami mulai bertepuk tangan. Aku merebut lighter dari tangannya dan membantunya membakar ujung rokok. Tak menyala, karena tak dihisapnya. Diambilnya lighter dari tanganku, dan kami kembali bertepuk tangan.

Dengan satu jentikan jari di lighter dan satu tarikan nafas, rokok itu menyala. Hanya sekejap, sampai rokok itu direnggut paksa dari mulutnya, dilempar ke lantai, dan diinjak oleh sebuah sepatu hak tinggi. Kami terperanjat, rupanya pacarnya ada disini. Ya, pacarnya yang melarangnya untuk merokok, karena kesehatannya yang menurun. Sang pacar mencopot cincin yang ada di jari manisnya, dan melemparkannya ke meja kami. Pacarnya beranjak pergi, sementara dia hanya membenamkan tangis dalam kedua tangannya.

PS: ini fiksi murni ya.. I used to be a smoker, and proud to quit smoking years ago. :)

Ditulis pada pertemuan Reading Lights Writers Circle (RLWC) tanggal 5 November 2011

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline